By: Evi Purwanti, S.H., LL.M
I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat internasional terjadi hubungan timbal balik
antar negara-negara di dunia, baik itu hubungan politik, perdagangan, sosial
dan kebudayaan. Terjalinnya hubungan ini untuk saling mengisi kepentingan dan
kebutuhan yang ada dari masing-masing negara. Dalam interaksi masyarakat
internasional ini sering terjadi ketidak sesuaian pendapat atau timbul
permasalahan yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dengan intensitas
konflik yang bervariasi. Tahapan dari hubungan negara-negara ini dapat berupa
hubungan yang baik (friendly relationship), hubungan yang menegang (strained
relation), hubungan yang tidak ramah (unfriendly relation) dan yang
terakhir hubungan yang bermusuhan (hostile).
Faktor penyebab konflik antar negara ini dapat bersumber
dari berbagai hal, diantaranya mengenai perbatasan negara, sumber daya alam,
kerusakan lingkungan, perdagangan, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dalam
sengketa perbatasan sering timbul masalah jika tidak terjadi kesepakatan
bilateral mengenai tapal batas negara, jika kedua negara berbatasan langsung.
Di mana tapal batas mempengaruhi kewenangan kedaulatan negara serta menyangkut
kekayaan alam yang dapat menjadi sumber pendapatan negara, sehingga biasanya peneyelesaian
persoalan perbatasan sukar di dapat titik temu. Selain itu terdapat juga
konflik dalam hubungan politik, terkait kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh
masing-masing negara yang bisa saja dianggap merugikan negara lain.
Upaya-upaya
penyelesaian sengketa ini telah menjadi perhatian yang cukup penting di dunia
internasional sejak awal abad ke-20. upaya-upaya ini ditujukan untuk
menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional.[1]
Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional
adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya hukum
internasional mengenal dua jenis penyelesaian, yaitu penyelesaian sengketa
secara damai dan dengan cara kekerasan.
Pada umumnya teknik penyelesaian sengketa secara damai
terbagi menjadi dua kategori yaitu penyelesaian secara politik (political
approach) dan penyelesaian melalui putusan peradilan (adjudication).[2]
Penyelesaian secara politik terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu melalui jalan
negosiasi (negotiation), pencarian fakta (fact finding), melalui
jasa-jasa baik (good offices), mediasi (mediation) dan konsiliasi
(conciliation). Penyelesaian melalui putusan
peradilan melibatkan pihak ketiga yang memberikan putusannya tanpa ada unsur
kepentingan terhadap kasus tersebut. penyelesaian jenis ini dapat dilakukan
melalui proses arbitrase (arbitraton) atau melalui putusan organ
pengadilan. Sedangkan cara kekerasan dilakukan melalui peperangan dengan kekuatan
militer. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa sebenarnya telah diakui dan
dipraktekkan sejak lama. Bahkan perang telah dijadikan sebagai alat instrumen
dan kebijakan luar negeri, terutama bagi negara-negara maju saat ini.
Penyelesaian secara damai ini ada yang hanya melibatkan
pihak-pihak yang bersengketa ataupun melibatkan pihak ketiga sebagai
penengahnya. Salah satu penyelesaian sengketa di atas yang melibatkan pihak
ketiga adalah mediasi, dimana pihak ketiga yang menjadi penengah di sebut sebagai
mediator, yang dapat berasal dari negara yang netral, organisasi internasional
atau individu. Mediator ini ikut serta
secara aktif dalam proses negosiasi negara yang bersengketa. Biasanya
dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral mediator berusaha mendamaikan
para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mediasi dan
arbitrase yang di tinjau secara umum dari segi teori dan prakteknya. Dengan
melihat penerapannya dalam studi kasus di Bosnia –Hercegovina. Untuk memahami mediasi dan arbitrase internasional
dari segi politik dan fungsi strategisnya.. Serta untuk mempelajari metode dan proses
dari mediasi dan arbitrase internasional.
Dalam tugas akhir perkuliahan ini metode penulisan yang
dipergunakan adalah menggunakan metode deskriptif analisis dimana sumber
tulisan didapat dari bahan literatur primer dan sekunder, dan juga menganalisis
praktek yang diterapkan dalam kasus sengketa di negara Bosnia-Hercegovina yang
menerapkan mediasi dan Arbitrase dalam
meyelesaikan konflik mereka.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang menjadi objek dari penulisan adalah:
1. bagaimana teori mengenai mediasi dan arbitrase dalam konflik
internasional?
2. bagaimana hubungan teori dan praktek mediasi dan arbitrase dalam
kasus Bosnia-Hercegovina?
II.
Mediasi dan Arbitrase dalam
sengketa Internasional
A. Teori mediasi
Mediasi dalam sengketa internasional lebih dikenal sebagai
proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga dalam usahanya untuk
mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka langsung dapat berunding.
Pihak ketiga ini ikut berperan aktif
dalam perundingan, mediator dapat mengusulkan saran penyelesaian
sengketa dan menjadi pemimpin dari perundingan, namun para pihak tidak terikat
untuk menerima usulan dari mediator.[3]
Mediasi menurut J.G. Merrills adalah merupakan negosiasi
tambahan dengan mediator atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai
wewenang, dan memang diharapkan untuk mengajukan proposalnya sendiri dan
menafsirkan, juga menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak
lain. Profosal ini bersifat tidak formal dan berdasarkan informasi yang
diberikan pihak-pihak, bukannya berdasarkan penyelidikan sendiri.[4]
Bentuk mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga
(mediator) yang netral dan independen
dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak
atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu,
organisasi internasional, dan lain-lain.
Mediator dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya
sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsinya atas
permintaan sari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal
ini, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan kesepakatan atau konsensus dari
para pihak sebagai prasyarat utama.[5]
Menurut Malcolm N. Shaw:
“The employment of the
procedures of good offices and mediation involves the use of a third party,
whether an individual or individuals, a state or group of states or an
international organisation, to encourage the contending parties to come to a
settlement. Unlike the techniques of arbitration and adjudication, the procces
aims at persuading the parties to a dispute to reach satisfactory terms for its
termination by themselves. Provisions for settling the dispute are not
prescribed.”
Dalam penyelesaian sengketa internasional mediasi cukup
sering dilakukan oleh negara-negara jika jalan negosiasi sudah menemui jalan
buntu, adapun kelebihan dan kekurangan mediasi adalah:
1.
Kelebihan Mediasi
a.
Merupakan campur tangan pihak
ketiga untuk memecahkan kebuntuan negosiasi dalam penyelesaian sengketa.
b.
Dalam mediasi pihak ketiga ikut
serta dalam perundingan sebagai penengah dan punya peran aktif dalam
penyelesaian sengketa.
c.
Mengusahakan tercapainya penyelesaian,
mengajukan saran, yang dapat memuaskan kedua pihak. Dapat menjadi media
penghubung bagi pihak yang sudah putus hubungan diplomatiknya sehingga dapat
melakukan perundingan kembali.
d.
Berfungsi melonggarkan ketegangan
yang ada selama sengketa dan mengembangkan ruang lingkup negosiasi.
e.
Merupakan saluran informasi yang
efektif.
f.
Saran dari negosiator tidak
mengikat sehingga para pihak masih bebbas untuk menentukan keputusannya
sendiri.
g.
Bentuk proposal dari mediasi masih
tidak formal dan berdasarkan informasi yang diberikan masing-masing pihak.
h.
Mediasi dapat dimintakan oleh para
pihak ataupun ditawarkan secara spontan oleh pihak luar.
i.
Para
pihak masih memegang kontrol dalam perundingan.
j.
Mediasi merupakan suatu kompromi
dari suatu jenis sengketa.
2.
Kekurangan Mediasi
a.
tidak semua sengketa internasional
dapat cocok diterapkan mediasi, karena semua tergantung dengan itikad
mediatornya.
b.
dari pihak mediatornya sendiri,
mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan sering tidak memberikan
penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi para
pihak yang bersengketa.
c.
mediasi tidak dapat dipaksakan
jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau melakukannya.
d.
dengan melakukan mediasi maka
telah mengakui masalah tersebut adalah masalah sengketa internasional sehingga
jika ada perselisihan mengenai pertanggungjawaban internasional, pihak yang
bersengketa tidak akan mau dilakukan mediasi.
e.
jika salah satu pihak merasa yakin
untuk memenangkan persengketaan maka tidak akan mau untuk dilakukan mediasi,
sebab dalam mediasi selalu dicari jalan win-win solution.
f.
pihak mediator tidak akan diterima
jika diangap punya pemahaman sedikit tentang posisi para pihak, tidak simpatis,
terpengaruh pada pihak lain atau dianggap memiliki kepentingan pribadi dalam
sengketa.
g.
para pihak harus bersiap untuk
mengorbankan tujuan asal yang ingin dicapai untuk mencapai kompromi bersama.
3.
pemilihan mediator
dalam pemilihan
mediator di kenal tiga cara yang dapat dibedakan menjadi:
1.
mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
2. mediator yang
ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
yang ditunjuk oleh para pihak.
3. mediator yang
disarankan atau ditawarkan oleh pihak ketiga bisa berupa negara, organisasi
internasional ataupun NGO.
4. Tugas Utama Mediator
dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan
para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang
dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja.
Proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak.(mutually
acceptable solution). Pada dasarnya kesepakatan negara yang bersengketa ini
lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan peradilan, karena merupakan hasil dari
Kesepakatan para pihak. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau
jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan
mereka. Kekuatan putusan mediasi ini tergantung dari itikad baik para pihak
untuk mematuhi putusan mediasi itu. Sedangkan dalam putusan pengadilan itu
karena ada pihak lain yang memutuskan, yaitu hakim. Dengan kata lain putusan
pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para pihak.
Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari
peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga
kelancaran proses mediasi. Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang
mediator. Namun secara umum terdapat 7 tugas seorang mediator.
a. mediator harus
menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar para pihak tidak
menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya.
b. mediator juga harus
memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan mengumpulkan serta
menganalisa proses mediasi dan latar belakang sengketa. Hal ini penting untuk
dilakukan agar mediator dalam mengarahkan mengetahui jalur penyelesaian
sengketa ini.
c. selanjutnya mediator
menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun kepercayaan dan kerjasama.
Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi.
d. mediator harus mampu
untuk merumuskan masalah dan menyusun agenda, karena kadang-kadang yang
kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya saja. Sebenarnya kalau
dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam teori Alternatif
Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/ apa yang benar-benar
para pihak mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar
proses ADR.
e. mediator harus
mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. terkadang ada para pihak
yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak boleh.
f. mediator harus dapat membangkitkan
pilihan penyelesaian sengketa, pintar dan jeli dalam memandang suatu masalah.
g. mediator dapat
menganalisa pilihan-pilihan tersebut untuk diberikan kepada para pihak dan
akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses
penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak.
5. Proses Mediasi
Proses penyelesaian melalui mediasi diawali dengan
mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah/ kaukus
sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan untuk mengetahui informasi apa saja
yang boleh dan tidak boleh diungkap dalam pertemuan lengkap. Artinya pada tahap
ini sudah ada peringatan dari mediator. Misalnya seperti larangan
menyerang pihak lawan dengan bahasa yang memang tidak enak didengar. Kemudian
mediator dapat mempengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak
lawannya dengan cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan
dipahami oleh kedua belah pihak.
Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu
lawan bicara kita menangkap apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi
atau menginterupsi salah satu pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu
menyangkut hal yang sensitif bagi pihak lain. Sebelum melakukan proses mediasi,
para pihak sudah harus memasukkan data tentang persengketaan. Data ini sebenarnya
cukup melalui pengumpulan data, dan hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun
rencana atau strategi mediasi.
Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data
ke lapangan agar dia lebih sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan
sebagai pihak yang memutus, melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan
agar pertemuan dapat melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan
para pihak. Dalam teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah
dikumpulkan tadi dapat dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of
conflict/ lingkaran konflik.
Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah
yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah
hubungan antara para pihak, seperti “ada apa sebenarnya diantara para
pihak?, kenapa keduanya tetap bersikeras dengan posisinya, pernah bersengketa
sebelumnya atau bagaimana? dan sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan
tentang data. Misalnya ketika dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian
juga masalah kepentingan yang bertentangan. Misalnya bisa jadi pihak yang satu
maunya kanan, yang lainnya lagi maunya ke kiri. Kemudian masalah hambatan
struktural dan masalah perbedaan tata nilai yang kesemuanya sebenarnya sudah
bisa dijadikan sebagai acuan bai mediator.
6.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Mediasi
Beberapa hal yang
dapat mempengaruhi mediasi adalah:
1. karakter sistem internasional,
karakter ini
mempengaruhi prospek dari negara, dan strategi yang mereka gunakan untuk
memecahkan konflik. Prinsip yang berlawanan dalam sistem internasional, pola
kesejajaran dan distribusi kemampuan kekuatan semua menghasilkan pendekatan yang berbeda-beda bagi setiap
konflik. Lingkungan internasional bipolar seperti yang dulu pernah terjadi
antara dua kekuatan negara adikuasa AS dan Uni Sovyet , terlihat lebih
menimbulkan kestabilan pada dunia internasional dari pada sistem
multipolar.
2. sifat alami suatu konflik
karakteristik asli
dari konflik di lihat dari isu yang di fokuskan, menentukan seberapa penting
penyelesaian dan pengelolaan konflik tersebut. beberapa isu seperti kepercayaan
atau agama, nilai-nilai fundamental dan integritas teritorial merupakan isu
penting, dan cenderung membangkitkan masyarakat internasional untuk membantu
menyelesaikan konflik itu. Karena biasanya isu diatas sulit untuk diselesaikan
hanya melalui jalur diplomatik serta dapat berlangsung lama yan akhirnya
membuahkanjalan kekerasan untuk menyelesaiakan konflik jika tidak juga
teratasi. Aspek lain yang mempengaruhi
jalannya penyelesaian mediasi adalah jumlah isu dalam konflik itu, kekakuan
masing-masing pihak terhadap pendirian masing-masing, apakah isu itu terkait
dengan kepentingan yang berwujud berupa konflik sumber kekayaan alam (tangible interests)
atau konflik yang tidak berwujud seperti persengketaan mengenai nilai-nilai
yang dianut (intangible interest). Kedua hal ini dapat mempengaruhi baik durasi
maupun metode penyelesaian konfliknya.
3. karakteristik-karakteristik internal negara yang dilibatkan
hal ketiga yang
mempengaruhi penyelesaian konflik adalah karakter internal dari para pihak yang
terlibat. Yaitu seberapa banyak struktur pejabat negara yang berpengaruh yang
cenderung memiliki kebijakan untuk menyerang dengan kekerasan atau lebih
memilih bentuk lain dari penyelesaian konflik. Sistem dasar dari suatu negara
mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang akan mereka buat. Seperti sebuah argumen
yang menyatakan bahwa negara demokrasi lebih cenderunng menggunakan metode
damai dalam menyelesaikan sengketa dari pada negara non demokrasi, hal ini
karena norma intern, ekspresi liberal atau adanya kendala pemilihan.
7.
Mediasi dari segi politik
Berbeda dengan mediasi dalam sengketa perdagangan, mediasi
di dalam sengketa internasional mempunyai aspek yang lebih konflik yang
berpengaruh pada isu sengketa. Salah satunya adalah aspek politik dari
negara-negara yang bersengketa. Dimana faktor-faktor
yang mempengaruhi penyelesaian sengketa terdiri dari:
A. faktor
kontekstual (Contextual Factors)
1. struktur
sengketa (dispute structure)
a. isu-isu; yaitu permasalah yang timbul merupakan masalah krusial
ataukah hanya masalah yang tidak begitu mendasar.
b. Intensitas; adalah seberapa kekuatan dari persengketaan itu
mempengaruhi negara yang bersengkata khususnya dan masyarakat internasional
umumnya.
2. para pihak
(parties)
a. bentuk pemerintahan (polity);
bentuk pemerintahan dari negara-negara mempengaruhi karakteristik penerimaan
mereka dalam kesepakatan mediasi, seperti negara demokrasi, otoriter, komunis,
sosialis, dan lain-lain.
b. kekuatan (power); kekuatan para pihak juga menentukan cepat
atau tidaknya, contohnya jika sengketa terjadi antara dua negara yang sama-sama
berkekuatan seimbang maka masing-masing pihak cenderung untuk mempertahankan
posisinya, berlainan jika salah satu pihak lebih lemah dari negara lainnya maka
dimungkinkan negara lemah itu untuk mengalah lebih banyak dari negara yang
kuat.
B. Perilaku (Behavioural)
1. sejarah
hubungan para pihak; sejarah ini mempengaruhi kompleksitas penyelesaian
sengketa. Jika kedua negara yang bersengketa sudah mempunyai sejarah permusuhan
sejak lama, maka hal itu akan berpengaruh terhadap konflik yang baru muncul
meskipun persoalannya samasekali tidak berkaitan dengan permasalahan yang telah
lalu.
2. kronisitas
sengketa; jika suatu sengketa telah dibiarkan berlarut-larut sekian lama maka
untuk menyelesaikannya juga semakin susah.
Di dalam hukum nasional negara, proses litigasi melalui
peradilan internasional merupakan suatu hal yang sedapat mungkin untuk
dihindarkan. Kemungkinan memburuknya hubungan antar negara, ketidakyakinan
terhadap hasil yang akan diputuskan oleh pengadilan, serta untuk menghindari
sesuatu yang memalukan jika sampai kalah di pengadilan juga biaya yang besar
merupakan beberapa sebab keengganan negara-negara untuk menempuh jalur
pengadilan. Maka untuk mengatasi hal tersebut di bentuk lembaga arbitrase
sebagai alternatif lain dari pengadilan internasional dalam menyelesaikan
sengketa antar negara.
Penyelesaian sengketa arbitrase sebenarnya termasuk ke dalam
lingkup penyelesaian melalui jalur adjudikasi. Yaitu proses peyelesaian
sengketa melalui prosedur peradilan yang bersifat formal serta menghasilkan
suatu keputusan yang mengikat bagi kedua belah pihak namun berbeda dibandingkan
peradilan internasional. Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrase”
(latin), “arbitrage” (Belanda), “arbitration” (Inggris), “schiedspruch”
(Jerman), dan “arbitrage” (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.[6]
Menurut Black's Law Dictionary "Arbitration an
arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and
is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of
ordinary litigation."[8]
Definisi arbitrase yang diadopsi dari Treaty of Lausanne case dan kemudian diikuti oleh Komisi Hukum
Internasional dalam kasus maritim delimitation and Territorial Question (Bahrain v Qatar ) adalah “a procedure
for the settlement of dispute between states by binding award on the basis of
law and as a result of an undertaking voluntarily accepted.[9]
Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa,
arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Sumbangan badan ini
terhadap perkembangan hukum internasional secara umum cukup signifikan.
Sengketa Kepulauan Palmas (Miangas) antara Amerika Serikat dan Belanda yang
duputus oleh arbitrator tunggal Max Huber merupakan salah satu bukti peranan
badan ini terhadap hukum internasional.[10]
Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui
beberapa cara, yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized)
atau kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase
terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan memiliki
hukum acara sendiri. Contoh badan arbitrase yang terkenal adalah the Permanent
Court of Arbitration (PCA) di Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad
hoc adalah badan yang di
buat oleh para pihak untuk sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini
berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.
Beberapa
lembaga Arbitrase Internasional lain diantaranya adalah:
c.
ICSID yaitu arbitrase yang menyelesaikan sengketa penanaman modal asing.
d.
Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce (ICC). ICC merupakan suatu lembaga Arbitrase Internasional yang tertua dalam
bidang perdagangan internasional. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1919.
e.
Asia-Africa Legal Consultative
Commitee (AALCC) didirikan pada tanggal 15 Desember 1956, berkantor pusat
di New Delhi , India . Organisasi ini dibentuk oleh
ahli-ahli dari dunia ketiga yang bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi
ICC. Organisasi ini pada tahun 1978 melebarkan sayab dengan mendirikan kantor
di kawasan Asia, dengan memilih tempat kedudukan di Kuala Lumpur . Pada pertemuan yang ke-40 yang
diadakan di New Delhi ,
AALCC diganti menjadi Asian-African Legal Consultative Organization (untuk
selanjutnya akan disebut ALLCO). Secara tegas ALLCO menyatakan tunduk dalam
ketentuan yang dibuat oleh United Nations Commision On International Trade
Law (UNCITRAL) yaitu UNCITRAL Arbitration Rules (UAR). Tujuan
dibentuknya UAR adalah untuk mengglobalisasikan serta menginternasionalisasikan
nilai-nilai dan tata cara Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
dalam hubungan perdagangan. Perjanjian arbitrase menurut UNCITRAL ini harus
dilakukan dalam bentuk tertulis (agreed in writing), yang menyatakan
bahwa para pihak menundukkan diri kepada ketentuan arbitrase yang diatur dalam
UAR.
Selain lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat Internasional
tersebut, masih banyak lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat nasional yang
dimiliki oleh beberapa negara, misalnya:
a.
Nederlands Arbitrage Institute
merupakan pusat Arbitrase nasional di Belanda.
b.
The Japan Commercial
Association merupakan pusat Arbitrase nasional di Jepang.
c.
The American Commercial
Association merupakan pusat Arbitrase nasional di Amerika Serikat.
Didirikan oleh Kamar Dagang Amerika pada tahun 1926.
d.
The London Court of
International Commercial Arbitration yang didirikan pada tahun 1892.
e.
Australian Centre for
International Commerce Arbitration (ACICA) merupakan lembaga arbitrase di Australia .
f.
Thai Arbitration Board.
g. Hongkong
International Arbitration Centre, didirikan pada tahun 1985.
h. Singapore
International Arbitration Centre (SIAC), yang didirikan pada tahun 1991.
i.
China International
Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC).
j.
Korean Commercial Arbitration
Board (KCAB).
k.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) merupakan Arbitrase Nasional di Indonesia yang didirikan oleh kamar
dagang dan industri Indonesia
pada tanggal 3 Desember 1977.
Ada dua perbedaan
utama antara badan arbitrase internasional publik dengan pengadilan
internasional.
a. arbitrase memberikan
para pihak kebebasan untuk memilih atau menentukan badan arbitrasenya.sebaliknya
pada pengadilan,komposisi pengadilan berada diluar pengawasan dan kontrol para
pihak.
b. Arbitrase memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan
arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada
umumnya. Contohnya pada Mahkamah Internasional terikat untuk menerapkan
prinsip-prinsip hukum internasional yang
ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya dibolehkan menerapkan prinsip ex
aequo et bono.
1.
Kelebihan Arbitrase
Kelebihan dalam penggunaan arbitrase antara lain adalah:
a.
para pihak memiliki kebebasan
dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secara langsung maupun tidak langsung
(melalui bantuan pihak ketiga seperti pengadilan internasional). Hal ini
penting karena apabila suatu negara
menyerahkan sengketanya kepada
pihak ketiga (dalam hal ini arbitrase) maka negara tersebut harus mempercayakan
sengketanya diputus oleh pihak ketiga tersebut, yang menurut negara itu bisa
diandalkan, dipercaya, dan memiliki kredibilitas.
c.
para pihak memiliki kebebasan
untuk menentukan hukum acara atau persyaratan bagaimanan suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam menentukan
hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada pokok sengketa.
d.
sifat dari putusan arbitrase pada
prinsipnya adalah final dan mengikat
e.
apabila para pihak menginginkan
maka arbitrase itu dapat dilaksanakan secara rahasia. Contoh persidangan yang
dilakukan secara rahasia adalah persidangan atau dengar pendapat secara lisan
yang tertutup dalam kasus Rainbow Warriors Arbitration juga dalam kasus Anglo-French
Continental Shelf.[11]
f. prosedur arbitrase
dapat lebih cepat dari pengadilan internasional.
g. para pihak sendiri
yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.
2.
Kelemahan Arbitrase
Selain kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan di atas
arbitrase juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
a.
arbitrase hanya dapat dilakukan
jika kedua belah pihak sepakat untuk itu, sedangkan dalam masyarakat
internasional umumnya negara enggan untuk memberikan komitmennya untuk
menyerahkana sengketa kepada badan-badan pengadilan interansional termasuk
badan arbitrase internasional.
h.
keputusan yang diambil tergantung
pada arbiter.
i.
proses penyelesaian sengketa
melalui arbitrase tisak mejamin putusannya akan mengikat. Hukum internasional
tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak puasdengan putusan yang
dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.
j.
tidak ada preseden yang dapat
dijadikan sumber hukum arbitrase.
k.
dalam penunjukkan badan arbitrase ad
hoc, sedikit banyak akan menimbulkan kesulitan dalam prosesnya, karena para
pihak harus betul-betul memahami sifat-sifat arbitrase dan merumuskan sendiri
hukum acaranya. Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihak sepakat untuk
menyerahkan sengketa pada lembaga itu.
3. Sumber Hukum
Arbitrase
Dalam penggunaan
arbitrase sumber hukum internasional yang dapat dijadikan landasan hukumnya
adalah:
a.
The Hague Convention for the
Pacific Settlement of International Dispute (tahun 1899 dan 1907)
l.
Pasal 13 Covenant of the League of Nations . Pasal 13 ayat (1) Covenant antara
lain mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka
kepada badan arbitrase (atau pengadilan internasional) apabila sengketa itu
tidak dapat diselesaikan secara diplomatik. Ketentuan ini diperkuat dengan
dibentuknya suatu protokol di Jenewa tahun 1924. tetapi protokol itu tidak
berlaku karena negara yang meratifikasinya sedikit.
m. The General Act for the Settlement of International Dispute
pada tanggal 26 September 1928. dibuatnya The General Act ini
dipengaruhi oleh kegagalan Protokol 1924. Suatu Komisi khusus, yaitu The
convention on Arbitration and Security dibentuk untuk merumuskan The
General Act. Perjanjian ini
berlaku pada tanggal 16 Agustus 1929 dan diratifikasi oleh 23 negara termasuk
Perancis, Inggris dan Italia.
n. Pasal 33 Piagam PBB
yang memuat beberapa alternatif penyelesaian
sengketa, antara lain arbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh
negara-negara anggota PBB.
o.
The UN Model on Arbitration
Procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 1962 (XIII) tahun
1958. Model Law ini sebenarnya adalah hasil karya ILC (International
Law Commission) yang menaruh perhatian besar terhadap arbitrase. Pada tahun
1955, ILC kembali mengkaji ulang seluruh rancangan perjanjian dan mengubah nama
perjanjian tersebut menjadi sekedar Model Hukum (Model of Law).[12]
4.
Pemilihan Arbitrator
Dalam penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, hal yang paling vital adalah penentuan pemilihan arbitratornya.
Karena dalam putusan arbitrase berlaku mengikat para pihak, serta tidak ada
sarana banding sehingga kewenangan arbitrator ini sangat besar dalam penentuan
kasus. Meskipun telah di sepakati bahwa peran arbitrator harus independent dan
tidak memihak, namun perlu suatu kejelian untuk memilih arbitrator agar
nantinya tidak menghasilkan suatu putusan yang merugikan para pihak.
Pada proses arbitrase para pihak memiliki kebebasan untuk
menentukan dan mengangkat arbitrator yang berwenang memeriksa dan memutus
perkara. Para pihak, sebelum mengadakan pemilihan
arbitrator dengan sendirinya akan mempertimbangkan berbagai konsekwensi yang
timbul dalam perkara tersebut. Salah satunya adalah imparsialitas dari arbiter
yang merupakan salah satu jaminan
terhadap kepercayaan, karena keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter
harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut
harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan
tidak memihak. Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada arbiter
atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik sebab
arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran dan
kepatutan (ex aequo et bono).
Definisi dari arbitrator sendiri adalah:
“A private,
neutral person chosen to arbitrate a disagreement, as opposed to a court of
law. An arbitrator could be used to settle any non-criminal dispute, and many
business contracts make provisions for an arbitrator in the event of a
disagreement. Generally, resolving a disagreement through an arbitrator is
substantially less expensive than resolving it through a court of law.”[13]
Pendapat lain mengenai definisi arbitrator, yaitu;
“An Arbitrator is a disinterested person
selected by agreement of contesting parties (or by the court) to hear and
settle some disputed question between them. The test for apparent or
unconscious bias in an arbitrator is whether there was any real danger that he
was biased.”[14]
Pada awal perkembangannya para pihak kerap mempercayakan
orang-orang berpengaruh seperti kepala negara atau pimpinan spiritual (agama)
sebagai arbitratornya. Dalam perkembangannya, individu perorangan dengan
kualifikasi tertentu seperti ahli hukum, politikus atau hakim, telah pula
dipilih sebagai arbitrator.
Pada umumnya dalam Arbitrase di pakai tiga arbitrator panel,
tapi tidak menutup kemungkinan untuk menunjuk satu arbitrator jika jumlah yang
disengketakan hanya sedikit. Penunjukan panel tiga arbitrator biasanya
melibatkan masing-masing pihak dengan menunjuk satu arbitrator, kemudian kedua
arbitrator terpilih itu akan memilih arbitrator ketiga sebagai chairman.
Penunjukkan arbitrator ini harus di setujui oleh kedua belah pihak yang
bersengketa.
Dalam The Jay Treaty tahun 1794 mensyaratkan tiga
orang anggota arbitratornya. The General Act 1928 mensyaratkan lima
orang. The Hague Convention 1899 dan The Hague Convention
1907 juga mensyaratkan lima
orang. Biasanya badan arbitrase permanen memiliki daftar nama-nama orang yang telah memenuhi kualifikasi sebagai
arbitrator. Dari daftar ini para pihak dapat memilih mereka sesuai dengan
pilihannya.
Dalam penentuan
jumlah arbitrator, the United Nations Model juga menentukan bahwa para
pihak yangmenetapkan jumlah dan syarat-syarat arbitrator. Apabila para pihak
gagal menentukan arbitrator ini dalam jangka waktu tiga bulan maka the
United Nations Model akan memercayakan penentuan arbitrator kepada presiden
Mahkamah Internasional.
5. Hukum Acara
Hukum acara yang
akan berlaku dalam persidangan arbitrase sepenuhnya bergantung pada kesepakatan
para pihak yan dituangkan dalam perjanjian. Konvensi Den Haag, the General
act 1928 dan the United Nations Model memuat aturan-aturan hukum
acara yang dapat diikuti oleh para pihak.
Berdasarkan
pengamatan Camara, pada umumnya unsur-unsur hukum acara dilakukan sebagai
berikut.
a. Acara persidangan
dilakukan melalui dua tahap: tertulis dan lisan.....
b. Dokumen-dokumen
diserahkan sebelum persidangan secara tertulis dan tertutup.
c. Peradilan arbitrase
diberi wewenang untuk memanggil saksi-saksi dan meminta bantuan para ahli.
d. Peradilan artbitrase
memutus setiap tuntutan yang berkaitan dengan pokok perkara.
e. Peradilan arbitrase
dapat memberikan tindakan perlindungan sementara.
f. Apabila salah satu
pihak tidak hadir dalam persidangan, peradilan arbitrase dapat memutus perkara
untuk kepentingan pihak lainnya apabila tuntutan memiliki landasan hukum yang
kuat.
g. Persidangan bersifat
rahasia.[15]
6. Arbitrase dari Segi
Politik
Penyelesaian
sengketa antara dua negara tentu akan sulit untuk dicari jalan tengahnya jika
permasalahan yang dihadapi cukup krusial bagi kedua negara. Disini diperlukan
penengah dari pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa karena dengan adanya
pihak ketiga maka akan memberikan tekanan pada para pihak untuk mendorong para
pihak menerima penyelesaian sengketanya.
Arbitrase lebih
fleksibel dibandingkan proses peradilan di Mahkamah Internasional, dimana para
pihak dapat menentukan arbitratornya, tempat perwasitan itu dilaksanakan,
prosedur yang akan diterapkan, kekuatan dari putusannya melalui perumusan terms
of reference (juga disebut sebagai hasil kompromi para pihak) serta kerahasiaan
persidangan yang terjamin. Faktor-faktor ini membuat arbitrase lebih menguntungkan dari
segi politis bagi negara ynag bersengketa.
III.
Kasus Bosnia-Hercegovina
A.
Kasus Posisi
Setelah melalui peperangan
yang panjang, pada tanggal 14 Desember
1995 di rancang suatu kerangka kerja umum untuk perdamaian di Bosnia-Hercegovina
(the Dayton Agreement), yang telah mengakhiri perang di
Bosnia-Hecegovina. Dalam implementasinya perjanjian tersebut tidak
begitu berhasil karena hanya sukses di dalam aspek militernya saja. The
implementation force (IFOR) yaitu pasukan yang mengawasi jalannya
perdamaian, yang sebelumnya di bawah struktur UN kemudian alihkan di bawah kewenangan
NATO, yang merupakan elemen penting dalam mengakhiri pertempuran dan mencegah
kembalinya peperangan. Implementasi sipil dari The Dayton Agreement, terkendala
beberapa kesulitan, khususnya yang berhubungan dengan isu kebebasaan pergerakan
dan hak-hak para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka, sebagaimana yang di
jamin oleh Annex VII dari perjanjian. Sebagai tambahan, pengusiran secara
paksa keluarga-keluarga di Bosnia dan pembakaran rumah-rumah terus berlangsung
walaupun satuan tugas militer polisi Internasional (the international police
task force – IPTF) hadir disana beserta organisasi-organisasi lainnya. [16]
Ketika perhatian internasional tertuju pada sengketa Serbia – Bosnia dan adanya tuntutan terhadap kejahatan perang di sana, pergulatan penting pun
terjadi di Croat-Bosniac Federation of Bosnia-Hercegovina (negara Federasi).
Dunia internasional menyoroti Federasi ini dan fungsinya sebagai kunci dari
keseluruhan proses perdamaian. Transisi pembagian kekuasaan secara damai di Federasi
tidaklah mudah, namun dengan bantuan dan support masyarakat internasional,
dilakukan dorongan untuk mengadakan mediasi dan arbitrase dalam menyelesaikan
ketidakcocokan dalam menetapkan fungsi dan demokratisasi institusi.
Masyarakat Bosnia-Hercegovina terbagi dalam tiga kelompok,
yaitu: Bosnia serbia , Bosnia Kroasia, dan Bosniacs yaitu
istilah yang ditujukan pada muslim Bosnia
dan semua masyarakat yang bukan termasuk orang serbia maupun kroasia. Di bawah
perjanjian “Dayton”, Federasi Bosnia-Hercegovina dan republik Srpska
adalah dua entitas yang berbeda didalam negara Bosnia-Hercegovina, dengan
perbandingan Federasi 51 % dan Republik Srpska 49 %.
Federasi itu terbentuk pada waktu peperangan 1994 dengan The
Washington Agreement antara pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan Kroasia.
Perjanjian ini berisi konstitusi yang berdasarkan pada tiga level struktur yaitu
pemerintahan, daerah dan otoritas Federal. Mayoritas otoritas berada di dalam
sepuluh daerah (cantons). Kesulitan
terbesar adalah dalam usaha untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan
Kroasia dan Bosniacs. Konstitusi Federal membagi kedua kelompok masyarakat
anggota pemilih ini secara seimbang, dan pada akhirnya, semua legislasi harus
disetujui oleh mayoritas anggota Dewan Federasi Kroasia dan Bosniacs. Kedua
kelompok itu, telah berulang kali menggunakan persyaratan (suara pemilihan yang
harus mayoritas) itu untuk menunda legislasi
yang dirasa oleh masing-masing kelompok merugikan pihaknya. Persyaratan
ini sebenarnya direncanakan untuk melindungi hak-hak kedua kelompok Bosnians
dan Kroasian, namun telah disalahgunakan untuk meningkatkan kepentingan
nasionalist masing-masing kelompok.
Dewan Federasi itu akhirnya kehilangan fungsinya. Institusi
kunci tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan masyarakat Kroasia tidak
benar-benar bergabung secara penuh dengan Republik Kroasia dari Herceg-Bosna.
Meskipun mendapat kritikan dari masyarakat
internasional, masyarakat Bosnia Kroasia telah menentang semua usaha untuk
larut dengan Herceg-Bosna. Institusinya dan administrasinya terus eksis
berlanjut, dan membuat halangan besar
terhadap penegakan fungsi Institusi Federasi.
B. Sistem Mediasi dan Arbitrase
Tidak lama setelah Federasi didirikan, pemerintahan
Bosnia-Hercegovina dan Kroasia mengakui pentingnya untuk menyelesaikan
mekanisme sengketa untuk memutuskan perkara kedua belah pihak yang tidak dapat diputuskan
sendiri. Tahun 1995, Presiden Bosnia Izedbegovic dan Presiden Kroasia Tudjman,
bersama dengan pemerintah Jerman dan US, menyetujui dua langkah mekanisme
penyelesaian sengketa. Para pihak menunjuk
Christian Schwarz-Schilling, anggota dari parlemen Jerman, sebagai mediator
untuk Federasi, dan pengacara Washington Roberts Owen sebagai Arbitrator
Federasi.
Tugas dari Mediator Federasi adalah untuk menegosiasikan
dengan para pihak untuk menyelesaikan semua sengketa, memperhatikan secara
khusus pandangan-pandangan para pihak terhadap isu-isu khusus, dan untuk
mengevaluasi kemungkinan untuk berkompromi. Jika para pihak berhasil
berkompromi, perjanjian itu secepatnya didokumentasi dan ditandatangani oleh
wakil-wakil yang berwenang.
Jika para pihak tidak dapat berkompromi, atau salah satu
pihak tidak mematuhi perjanjian yang telah ditandatangani, maka para pihak
dapat mengajukan arbitrase yang mengikat. Kontras dengan mediasi, proses arbitrase
dalam menyelesaikan sengketa melalui mekanisme hukum secara keseluruhan, dengan
tidak ada celah untuk tawar menawar. Para
pihak menghadirkan kasus dan argumentasi legal mereka, biasanya dalam bentuk
tertulis, dan arbitrator kemudian akan membuat keputusan yang tidak bisa di banding
berdasarkan latar belakang hukum arbitrase.
Di masa lalu, keputusan arbitrase sering di tentang oleh
pihak yang kalah, dengan menanyakan pada mediator untuk menginterpretasi
keputusan itu atau untuk menegosiasi ulang permasalahan. Mediator, harus
menolak tindakan tersebut, karena mengutamakan sifat mengikat arbitrase.
Arbitrase sendiri, diliputi resiko yang banyak karena para pihak tidak dapat
mempengaruhi hasilnya. Pihak yang kalah di arbitrase, dalam pandangan di masa
lalu, sering menyesali penolakannya dahulu terhadap pengadopsian kompromi yang
di tawarkan oleh mediator. Mediasi pertama dilakukan pada Juni 1995, dan sejak
itu hanya 15 daerah yang menerapkan final arbitrase yang mengikat.
1.
Issu Mediasi
Isu utama dari mediasi berkenaan dengan verifikasi mandat
untuk Dewan Pemerintah, pemilihan pemimpin Dewan, penunjukan delegasi untuk
legislative daerah (canton), pengembalian para pengungsi, kebebasan bergerak (freedom
of movement), dan diikuti oleh rencana pemilihan umum bulan September 1996 serta
pendirian institusi di Federal khususnya di level canton.
Verifikasi mandat merupakan problem yang sangat
rumit. Pada awalnya anggota Dewan pemerintah telah dipilih di tahun 1990 dari
partai yang terdaftar. pada waktu itu, Dewan pemerintah terbentuk sebelum
perang berlangsung.Walaupun Dewan pemerintah dibentuk sebelum pendirian Federasi,
kedua partner Federasi menerima Dewan ini sebagai Dewan pemerintah sementara
yang sah sampai pemilihan pemerintah yang akan dibentuk terpilih menggantikan
mereka. Pemilihan pemerintah, dijadwalkan bulan September 1996 namun belum lama
berselang ditunda oleh organisasi keamanan dan kerjasama di Eropa sampai 1997.
Selama masa perang banyak anggota dewan yang mati, hilang
atau lari, dan harus digantikan kedudukannya. Dalam Mostar agreement
bulan May 1995, Kroasia dan Bosniacs menyetujui, dalam kasus ini, orang yang
berada di daftar selanjutnya dari partai yang terdaftar itu yang akan
menggantikan jabatan di Dewan. Sebelum perang, prosedur ini dapat dilaksanakan
tanpa masalah. Namun di dalam kenyataannya sekarang, meskipun, jika delegasi
itu tidak lagi berasal dari anggota partai tapi dari latar belakang etnis atau
delegasi itu adalah orang Kroasia atau Bosniac perlu diputuskan lagi apakah dia
dapat diterima sebagai pengganti. Jika delegasi itu tidak dapat diterima
sebagai pengganti, maka partai tersebut secara khas akan berdebat atau memberi
alasan seperti telah dikeluarkan dari partai, mengundurkan diri, atau tinggal
diluar negeri dan tidak lagi dapat dipekerjakan. Hal ini menghambat jalannya
Dewan Federasi karena jumlah anggota Dewan tidak lengkap.
Mediator dan arbitrator, dalam putusan final di bulan Juni
1996, mengatur bahwa semua anggota yang telah menduduki kursi Dewan sebagai
hasil dari pemilihan tahun 1990 akan dipertahankan dalam kedudukan mereka
meskipun mereka mengundurkan diri ataupun dikeluarkan dari partainya. Ini
adalah prosedur standar dalam demokrasi dibawah prinsip kebebasan mandat (freedom
of mandate), yang menyatakan bahwa setiap anggota dari Dewan Legislatif
adalah independent dari partainya atau keanggotaan partainya sejak saat dia
masuk menjadi dewan dimana dia telah secara bebas dipilih. Secara berlawanan,
jika saat penggantian itu dia tidak lagi sebagai anggota partainya, sebelum dia
mengganti anggota dewan yang mengundurkan diri, maka dia kehilangan haknya
untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri itu.
Penerimaan dari aturan ini telah menimbulkan suatu hal yang
banyak mencurigakan. Para partai menerima
peraturan jika hal itu fair dan yang menguntungkan mereka, dan menentang secara
keras jika tidak menguntungkan. Sebagai akibatnya, anggota dewan di beberapa
daerah berusaha untuk menentang tidak mau untuk melakukannya dalam jangka lama,
dan Dewan, karena itu, tidak dapat untuk bersidang dan bekerja menyelesaikan
masalah-masalah yang banyak pasca perang.
Kesulitan kedua dalam mediasi berkaitan dengan pemilihan
jabatan Walikota (eksekutif daerah) oleh Dewan pemerintah. Dalam sengketa ini, Partai
Nasional Kroasia (HDZ) telah menerima satu kursi lebih dari partai nasional
Bosniac (SDA), namun dalam forum kedua partai tidak mempunyai mayoritas suara
absolut. Kroasia mengklaim mereka mempunyai hak untuk memutuskan Walikota
berdasarkan atas interpretasi mereka terhadap The Mostar Agreement yang
menyatakan bahwa partai terkuat dapat “menamai” walikota tersebut. Saat yang
sama pihak Bosnia mengartikannya sebagai “mencalonkan” atau “penentuan,” dan
hal ini menjadi tidak jelas apakah Kroasia itu mempunyai hak untuk menunjuk
walikota baru atau hanya memberi nama calon Walikota itu. Dengan beralasan pada
aturan dasar demokrasi, maka mediator dan arbitrator memutuskan bahwa “naming
the mayor” menamai walikota berarti “mencalonkan” kandidatnya, dengaan demikian
membolehkan Dewan itu untuk memilih kandidat lain untuk pemilihan.
Isu krusial lainnya dalam mediasi, bahwa sejumlah delegasi
pemerintah juga dikirim sebagai Dewan cantonal, jika bagian teritori itu tidak
terletak didalam Federasi tapi didalam Republik Srpska. Sebagai akibat dari
pertempuran selama perang dan penarikan garis perbatasan di Dayton , beberapa bagian pemerintahan terbagi menjadi bagian dari Federasi dan Republik Srpska juga. Dalam Mostar
Agreement, anggota Federasi telah menyetujui bahwa jumlah delegasi untuk
masing-masing daerah bagian akan berkurang sesuai dengan persentase dari
teritori yang terletak diluar Federasi. Daerah bagian yang letak seluruhnya
berada didalam Federasi akan mendapatkan 5 delegasi, jika hanya 80 % dari
teritori yang berada dalam Federasi maka akan dapat 4 delegasi, dan seterusnya.
Mediator dan arbitrator menetapkan agreement ini tidak konstitusional karena
daerah bagian tidak harus diperlakukan dengan perwakilan yang terbatas jika
teritorinya berkurang sebagai akibat perang atau dayton agreement. Resolusinya
adalah seluruh daerah bagian harus mendapatkan lima perwakilan tanpa berdasarkan ukuran
teritori mereka di dalam Federasi.
2.
Enforcement
Di beberapa daerah bagian, perjanjian mediasi dan aturan
arbitrase tidak dapat diterapkan karena para pihak tidak punya kemauan untuk
melakukannya. Di kasus yang lain, kompromi negosiasi yang baik telah dirusak
oleh fungsionaris di level atas. Untuk
menyelesaikan hambatan ini, mediator mengajukan “Federation Implementation
Council” untuk menghilangkan individu-individu yang menghalangi kemajuan.
Konsul ini terdiri dari tiga anggota
dari masyarakat internasional bersama satu orang pihak Kroasia dan satu orang
pihak Bosnia, yang mempunyai hak untuk menginvestigasi kasus yang terkait
dengan pejabat publik yang tidak mematuhi kewajibannya dibawah hukum domestik
atau perjanjian internasional seperti Dayton Agreement, atau yang
menghalangi kemajuan di constituent mereka.
Jika konsul tersebut mendapatkan pejabat yang melakukan
pelanggaran, maka konsul mempunyai kekuatan untuk mengeluarkannya dari jabatan.
Dalam kasus pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, konsul akan membuat
rekomendasi kuat kepada legislative yang tepat untuk memberhentikan pejabat
itu. Reaksi awal terhadap proposal mediator ini mendapat dukungan, dan kemudian
proposal itu dikirim ke Dewan Federal di Sarajevo. Dalam pelaksanaannya meskipun hal itu telah diagendakan pada Juni 2006, parlemen belum
mengeluarkan hukumnya.
Keberhasilan strategi untuk menghadapi rintangan tidak harus
diperlukan ilmu pengetahuan secara mendalam mengenai hukum, namun lebih
menjurus kepada pengetahuan umum. Selama masa mediasi untuk memanggil Dewan
pemerintah untuk persidangan di sentral Bosnia , Kroasia memprotes bahwa
hanya bendera Bosna yang berkibar di dalam ruang sidang. Ketika Kroasia
menghadirkan bendera Herceg-Bosna, pihak Bosnia menentang. Karena bendera
Herceg-Bosna sangat mirip dengan bendera Kroasia, yang menyebabkan pihak Bosnia
tidak menerima, maka interpreter mediator menggunakan alat jahitnya untuk
memotong bagian bendera yang mengidentifikasikan bendera Herceg-Bosna, dan
dengan beberapa jahitan mengubahnya menjadi bendera yang tidak mirip dengan
bendera Kroasia. Di bawah perhatian
media internasional, maka bendera yang diajukan kepada publik diterima oleh
semua pihak.
IV.
Penutup
Untuk menyelesaikan sengketa antar Negara secara damai terdapat beberapa metode
penyelesaian yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan
metode penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini mediasi dan
arbitrase dapat dilakukan oleh pihak yang bersengketa baik secara sendiri atau
pun dilaksanakan secara berjenjang seperti dalam kasus
Kedua metode penyelesaian sengketa ini dapat berhasil hanya
jika ada itikad baik dari para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang diambil.
Jika ada pihak yang tidak mau menjalankan putusannya maka kedua usaha itu tidak
akan berhasil di implementasikan karena tidak adanya upaya pemaksaan (enforcement)
atau sanksi terhadap pelanggaran dari putusan tersebut.
Perbedaan antara mediasi dan arbitrase adalah dalam mediasi
keputusan diserahkan pada para pihak untuk menetapkannya, jadi ada kesepakatan
bersama dalam penyelesaian sengketanya. Sedangkan dalam arbitrase keputusan di ambil oleh arbitrator
dan para pihak tidak dapat turut campur dalam penentuan putusan ini. Di dalam mediasi pertemuan lebih bersifat
informal, sedangkan dalam arbitrase sudah ada prosedur beracaranya meskipun
tidak seformal dalam pengadilan internasional.
Kaitan dalam
kasus Bosnia-Hercegovina diatas, para pihak telah menjalankan proses mediasi
dan arbitrase sesuai dengan teori yang ada di dalam Hukum Internasional. Meskipun
ada beberapa putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa
faktor penghalang, seperti para pihak tidak punya kemauan untuk melaksanakan
putusan serta adanya pejabat-pejabat tinggi
yang bertindak menentang hasil putusan. Pemerintah Bosnia-Hercegovina juga
secara jeli telah mengantisipasi kemungkinan persengketaan yang macet sehingga
telah menetapkan dua instrumen penyelesaian sengketa ini ditempuh dengan
jenjang bertingkat.
Pada umumnya
proses mediasi dan arbitrase yang dilaksanakan pada Negara Bosnia-Hercegovina
dapat dikatakan berhasil menyelesaikan sengketa, meskipun kesemua itu kembali
lagi bergantung pada itikad baik para pihak. Kesuksesan atas proses mediasi dan
arbitrase harus didukung oleh semua unsur para pihak yang bersengketa juga
kepada niat baik dari masyarakat internasional untuk membantu proses
rekonstruksi dan pemulihan keadaan pasca perang di negara itu.
DAFTAR PUSTAKA
D. J.
Harriss, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet
& Maxwell, London ,
2004.
Huala Adolf, Hukum
Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, 2004.
J. G.
Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986.
Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth
Edition, Cambridge
University Press, 1997.
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung ,
2003.
Sri
Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press, Jakarta , 2006.
Black's
Law Dictionary, St.
Paul Minn, West Publishing Co, 1979.
http://www.investorwords.com/250/arbitrator.html
di akses tanggal 15 Mei 2007
Peter H. Backes, Mediation in the Federation of Bosnia-
Hercegovina, dalam http://www.wcl.american.edu/hrbrief/v4i1/bosnia41.htm di akses tanggal 22 Maret 2007.
DAFTAR ISI
Daftar Pustaka
[1]
Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes Beteen States: History and
Prospects, dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional,
Sinar Grafika, 2004, hlm. 1.
[2]
Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth Edition, Cambridge University
Press, 1997, hlm. 717
[3]
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press,
Jakarta , 2006.
[4] J.
G. Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung , 1986, hlm. 21.
[5] R.
L.Bindschedler, Good Offices, hlm. 48 dalam R. Bernhardt, Encyclopedia
of Public International Law, hlm. 67, dalam Huala Adolf, op.cit, hlm. 34.
[6]
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra
Aditya Bakti, Bandung ,
2003, hal. 107
[7]
Huala Adolf, op.cit, 40
[8] Black's
Law Dictionary, St. Paul Minn, West
Publishing Co, 1979.
[9] D.
J. Harriss, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition,
Sweet & Maxwell, London ,
2004. hlm. 1025.
[10]
Huala Adolf, op.cit, hlm. 40.
[11]
Catherine Gray and Benedict Kingsbury, hlm. 64, dalam Huala Adolf, op.cit, hlm.
41.
[12]
Jose Sette-Camara, hlm. 529, dalam Huala Adolf, op.cit, hlm. 43
[15]
J. Sette-Camara, hlm. 532, dalam Huala Adolf, op.cit, hlm. 56.
[16]
Peter H. Backes, Mediation in the Federation of Bosnia- Hercegovina, http://www.wcl.american.edu/hrbrief/v4i1/bosnia41.htm
di akses tanggal 22 Maret 2007.