Tuesday, December 24, 2013

IMPLIKASI PEMBERLAKUAN HUKUM INTERNASIONAL KEDALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA



 

Oleh:

Evi Purwanti, S.H., LL.M.

 

BAB I


PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang


Peranan hukum internasional dalam perkembangan sistem hukum suatu negara mempunyai fungsi yang cukup penting. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya kegiatan-kegiatan lintas batas negara sehingga menyebabkan batas-batas teritorial suatu negara bukanlah suatu hambatan dalam hubungan ekonomi, sosial, budaya maupun politik yang dilakukan antar individu maupun antar negara. Untuk mengatur lalu lintas kepentingan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan internasional yang berfungsi mengatur mengenai tatacara berhubungan satu sama lain antar negara di dunia.

Adanya globalisasi lebih memicu perkembangan hukum internasional. Globalisasi membuat hubungan individu, korporasi dan negara saling berinteraksi lebih jauh, lebih cepat dan lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Komunikasi dan teknologi menyebabkan jarak sudah tidak menjadi masalah yang berarti dan saling ketergantungan antara negara-negara di dunia juga semakin kuat. Perkembangan hubungan lintas batas ini memerlukan pengaturan secara internasional baik itu dituangkan melalui perjanjian bilateral maupun multilateral.

Negara mematuhi hukum internasional karena mempunyai kepentingan dan membutuhkan sosialisasi dalam masyarakat internasional. Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan hubungan antar negara yang diharapkan akan mensejahterakan masyarakat internasional. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena hukum internasional itu belum tentu sejalan dengan sistem hukum masing-masing negara.

Di lain sisi, pesatnya perkembangan sistem hukum Indonesia terjadi setelah reformasi ketatanegaraan yang menghasilkan Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000) , Ketiga (2001) dan Keempat (2002) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebabkan gelombang krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan Juli 1997.[1] Adapun tujuan dari reformasi untuk melakukan perubahan secara besar-besaran di bidang hukum untuk menjamin agar hukum benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip Negara Hukum, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.

Dengan gerakan reformasi maka menyebabkan perkembangan sistem hukum indonesia semakin dinamis dan mengikuti arus keinginan masyarakat. Dampak lain adalah semakin bertambahnya jumlah perjanjian internasional baik itu berupa konvensi atau perjanjian internasional (treaty) yang diratifikasi oleh Indonesia. Peningkatan jumlah ratifikasi perjanjian internasional pada era reformasi menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 telah diratifikasi 45 hukum internasional yang disahkan menjadi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. [2]

Berkembangnya hukum internasional yang diadopsi ke dalam hukum nasional melalui proses ratifikasi itu tentu memiliki dampak tersendiri bagi sistem hukum nasional Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk menganalisis mengenai implikasi pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia. Dengan mencoba menelaah akibat-akibat yang timbul dari pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia baik dari segi positif maupun segi negatif yang dapat ditimbulkan dari pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia.

Karena cakupan aspek hukum internasional secara umum masih luas maka peneliti akan membatasi ruang lingkup permasalahan hanya ditinjau dari aspek hukum internasional dari perjanjian internasional atau “treaty”. Adapun alasan pemilihan perjanjian internasional sebagai salah satu variabel karena perjanjian internasional adalah sarana utama yang dipunyai negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional dan  merupakan bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam masyarakat internasional. Dengan kedudukan perjanjian internasional sebagai instrumen utama dalam hubungan internasional maka tidak salah untuk memfokuskan penelitian ini pada perjanjian internasional tersebut.

B.     Rumusan permasalahan


Berdasarkan latar belakang di atas maka disusun permasalahan sebagai berikut: ”bagaimana implikasi dari pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia?”

 

C.    Keaslian penelitian


Di sini peneliti akan memaparkan perbedaan fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap karya tulis lain yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan tinjauan dari sudut pandang dan permasalahan yang berbeda. Sebagai contoh karya tulis yang membahas tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional antara lain oleh: Romli Atmasasmita yang berjudul “Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi”.[3] memfokuskan penelitiannya pada tahapan proses ratifikasi hukum internasional menjadi hukum nasional. Sedangkan Wisnu Aryo Dewanto membuat penelitian berjudul “Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia” yang menitik beratkan pada penerapan teori Dualisme dan Monisme dimana dicapai kesimpulan bahwa hukum nasional kerkedudukan di atas hukum internasional.[4]

Perbedaan sudut pandang permasalahan penelitian dari kedua peneliti di atas adalah: dalam penelitian ini yang disorot adalah implikasi yang timbul dari pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia, serta mengkaji sisi positif dan negatif pengadopsian hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia.

D.    Manfaat penelitian


manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan mengenai implikasi yang dapat timbul dari pemberlakuan Hukum Internasional kedalam sistem Hukum Nasional Indonesia. Dengan menganalisis implikasi yang timbul dari pemberlakuan hukum internasional ini maka kita dapat menilai seberapa penting kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional Indonesia dalam fungsinya untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat Indonesia.

E.     Tujuan penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“untuk menganalisis implikasi hukum internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Secara khusus difokuskan pada sinkronisasi aspek hukum internasional terhadap hukum nasional Indonesia, menganalisis apakah ada hubungan yang positif antara intensitas ratifikasi perjanjian internasional dengan perkembangan sistem hukum Indonesia serta mengkaji sisi positif dan negatif pengadopsian hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia.”

F.     Tinjauan pustaka


Pembahasan mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional.merupakan subyek yang menarik untuk ditelaah. Salah satunya adalah karya  Romli Atmasasmita yang berjudul “Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi,[5] di dalam Makalah yang disampaikan pada “Seminar Legislasi Nasional” Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 21 Mei 2008 itu memaparkan tentang pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia masih memerlukan proses ratifikasi oleh DPR RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.[6] Departemen Luar Negeri adalah pelaksana utama dari seluruh proses ratifikasi tersebut sejak negosiasi, adopsi, penandatanganan, dan ratifikasi, dibantu oleh Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan atau Kementerian Koordinator lain dan Kementerian terkait.

Betapa pentingnya mempersoalkan dan mengkaji serta memahami bagaimana pengaruh hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan prinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Kedua, secara geografis, ethnografis dan secara kultural telah diakui eksistensi keragaman antara bangsa tersebut sehingga hambatan implementasi hukum internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi) sering terbentur kepada masalah penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata yang berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut berkaitan dengan pengakuan atas hak ekonomi, hak sosial dan hak politik yang berkembang dalam masyarakat. [7]

Dalam proses negosiasi draft konvensi internasional merupakan proses yang bersifat krusial dalam perubahan hukum nasional untuk dapat menentukan perlu tidaknya pemerintah Indonesia ikut serta menandatangani konvensi setelah diadopsi menjadi bagian dari ketentuan hukum internasional. Adopsi yang akan disusul dengan penandatanganan suatu konvensi internasional memerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar lembaga serta perlu mempertimbangkan masukan DPR RI terutama sepanjang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber daya manusia, ekonomi nasional dan hak asasi manusia.[8]

Proses ratifikasi suatu konvensi internasional bukan hanya proses persetujuan semata-mata melainkan seharusnya merupakan forum pertanggungjawaban politis pemerintah dihadapan DPR RI. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU Pengesahan Konvensi melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.

G.    Landasan teori


1.      Aspek Hukum Internasional


Istilah Hukum internasional yang dibahas dalam penelitian ini mengacu pada hukum internasional publik sehingga dapat dibedakan dari pengertian hukum perdata internasional. Adapun definisi dari hukum perdata internasional adalah “Keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata  yang melintasi batas negara.” Dengan perkataan lain merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berlainan.[9]

Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional publik sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.’’ Dari uraian di atas maka dapat dilihat persamaan dan perbedaan antara hukum perdata internasional dengan hukum internasional publik. Persamaannya bahwa keduanya mengatur hubungan  atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Hukum internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara, sedangkan hukum perdata internasional antara orang perorangan.[10]

Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri, yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.

Hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta mencakup : (a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ; (b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional.[11]

Menurut Sugeng Istanto,”hukum internasional adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional. Sebagai kumpulan ketentuan hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum. Sebagai bagian dari hukum, hukum internasional memenuhi unsur-unsur yang menetapkan pengertian hukum, yakni kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya  dipertahankan oleh “external power” masyarakat yang bersangkutan.[12]

Aspek hukum internasional dapat kita tinjau dari beberapa sudut pandang, diantaranya:

1.      Dilihat dari kaidahnya dapat digolongkan pada hukum internasional umum (universal) dan regional

2.      Dilihat dari sifat hukumnya dapat digolongkan pada hukum “hard law” dan “soft law.”

3.      Dilihat dari sumber hukumnya maka dapat digolongkan kepada 4 kategori berdasarkan statuta mahkamah Internasional Pasal 38.

4.      Dilihat dari cabangnya maka hukum internasional terbagi menjadi:

a.       Hukum Konsuler

b.      Hukum Diplomatik

c.       Hukum Penerbangan Internasional

d.      Hukum Pidana Internasional

e.       Hukum lingkungan Internasional

f.       Hukum HAM

g.      Hukum Humaniter Internasional

h.      Hukum angkasa Internasional

i.        Hukum Dagang Internasional

j.        Hukum Pertanggungjawaban Negara

k.      Hukum berkenaan dengan use of force

l.        Hukum Laut Internasional

Di lihat dari sifat hukumnya, perangkat hukum internasional ada yang berbentuk hard laws dan soft law. Pengertian yang pertama merujuk kepada seperangkat aturan hukum yang memiliki kekuatan mengikat (legally binding obligation) di mana fungsi interpretasi juga didelegasikan kepada pihak ketiga (ajudikasi) yang netral. Kontrak atau perjanjian bilateral merupakan ilustrasi sederhana hard law. Selain itu, ketentuan yang bersifat hard law umumnya juga dijumpai dalam traktat atau konvensi yang melahirkan regulasi global. Kaedah hukum ini umumnya berkenaan dengan isu yang dinilai menjadi kepentingan bersama seluruh masyarakat internasional.

Selain itu, pengelolaan sumber daya ketentuan hukum internasional banyak juga yang dituangkan dalam bentuk soft laws. Sebagai suatu soft law, prinsip-prinsip dasar yang terkandung didalamnya lebih merupakan pedoman kepatutan (directive) yang selayaknya dipatuhi negara agar kepentingan bersama dapat terpenuhi. Representasi atau penjabaran hak dan kewajiban dapat terinci atau moderat, namun tidak menimbulkan obligasi yang mengikat negara pihak. Karena itu, tidak ada sanksi hukum bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.

Sumber hukum internasional dapat digolongkan kepada 4 kategori berdasarkan statuta mahkamah Internasional Pasal 38; secara harfiah pasal ini sebenarnya menetapkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam melaksanakan fungsinya yakni menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Hal ini nampak dari kalimat pasal tersebut yang berbunyi “the Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:…” yang harus diterapkan oleh Mahkamah Internasional itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

a.“international conventions, whether general or particu­lar, establishing rules expressly recognized by the con­testing states’;

b. “international custom, as evidence of a general practice accepted as law”;

c. “the general principles of law recognized by civilized nations”;

d. “subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law”.

 

2.      Sistem Hukum Indonesia


Secara sederhana, “sistem” berarti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud,[13] atau “Group of things or part working together in a regular relation.”[14] Definisi yang kurang lebih sama diberikan oleh Black’s Law Dictionary, yang mengartikan sistem sebagai “Orderly combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole; especially such combination according to some rational principle.”[15]

Sebelum pembahasan mengenai sistem hukum Indonesia ini, terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian dari “Sistem Hukum” dan “Hukum Indonesia” itu sendiri. Definisi dari “Sistem Hukum” adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.[16]  

Selanjutnya, yang dimaksud dengan Hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia , yaitu hukum yag berlaku  pada saat ini di Indonesia, dan kalau dilihat dari segi bentuknya , ada yang tertulis yang di sebut hukum Undang-Undang dan yang tidak tertulis yang disebut hukum adat dan hukum kebiasaan.[17]  Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya.

Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[18]

Setelah membahas pengertian dari “Sistem Hukum” dan “hukum Indonesia” maka dapat disimpulkan penjabaran pengertian dari “sistem Hukum Indonesia” adalah seperangkat peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berhubungan satu dengan yang lainnya untuk mencapai masyarakat Indonesia yang tertib, adil dan damai.[19]

 

Ideologi Pancasila

1.      Pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam perundang-undangan

a.       Pancasila yang mengandung nilai-nilai kejiwaan bangsa Indonesia merupakan dasar tertib hukum Indonesia, pedoman dan penunjuk arah perkembangannya dengan sistem yang terbuka dan adalah batu ujian mengenai kepatutan dan perundang-undangan.

b.      Dalam menyusun undang-undang, pembentuk undang-undang perlu dengan tepat menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yang mendasari ketentuan undang-undang itu. Dengan demikian peraturan-peraturan hukum merupakan pelaksanaan undang-undang itu tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila.

c.       Pencerminan nilai-nilai Pancasila di dalam perundang-undangan merupakan hakekat pembentukan sistem hukum nasional.

2.      Mengenai Sistem Hukum Nasional

a.       Sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia .

b.      Landasan hukum nasional ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia dalam hubungan internasional

Politik Iuar negeri Indonesia yang bebas-aktif pada dasarnya berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, utamanya amanat Pembukaan UUD 1945. Dalarn penjabarannya, pelaksanaan politik Iuar negeri tersebut mencakup kegiatan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; menolak segala bentuk penjajahan, penindasan atau pun ketidak-adilan melalui pembangunan bangsa-bangsa, pembinaan persahabatan dan kerjasama internasional di berbagai forum. baik bilateral, regional maupun multilateral, tanpa membedakan sistem politik atau sistem ekonomi masing-masing negara.

 Pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya diantaranya adalah dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum lainnya. Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu Ratifikasi (ratification), Aksesi (accesion), Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval), dan hasil perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

 Untuk hubungan internasional diperlukan kemampuan agen diplomatik Indonesia di dalam proses negosiasi suatu draft konvensi. Kemampuan itu sendiri tidak dilahirkan melainkan dipelajari dan dilaksanakan secara benar. Untuk memahami dengan benar tentang perjanjian internasional (treaty) dan sejauh manakah peranan Negara di dalam menyikapi suatu treaty perlu dijelaskan beberapa hal di bawah ini.

Treaty adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu. Hukum Perjanjian internasional yang bersumber dari The Law of the Treaties - United Convention on the Law of the Treaty-UNCLT (1969) menegaskan harus dipenuhi syarat "pacta sunt servanda" yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para pihak dengan itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.

Cara mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara - "Civil Law system" atau "Common Law System". Di dalam sistem hukum "Civil Law", penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self implementing legislation). Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum "Common Law", penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation).

3.      Teori Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional


Titik awal dalam memeriksa hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dengan menelaah perbedaan dan persamaan antara hukum internasional dan hukum nasional. Masyarakat internasional belum berkembang menjadi sebuah masyarakat dengan semua karakteristik suatu negara. Hukum internasional adalah sebuah sistem namun belum termasuk kedalam kategori sistem hukum yang telah maju atau sangat mapan. Namun, tidak tepat untuk membandingkan masyarakat internasional dengan masyarakat nasional, karena hukum internasional memiliki karakteristik sendiri.[20]

Jika masyarakat internasional dewasa ini dibandingkan dengan masyarakat nasional maka hukum internasional berada dalam tahap primitif, mudah untuk menyadari dari pencapaian perkembangannya, masyarakat internasional saat ini masih dalam proses evolusi dari tahap dasar ke tingkat yang lebih maju, dari masyarakat dengan sistem yang belum sempurna ke tingkat yang lebih matang dan mekanisme yang lebih baik. Masyarakat nasional dan masyarakat internasional milik kategori yang berbeda. Prinsip-prinsip dimana kedua masyarakat itu terbentuk dan menjadi ada memiliki perbedaan. Oleh karena itu, hukum dari kedua masyarakat itu juga berbeda.[21]

Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. Subyek hukum internasional adalah negara sedangkan subyek hukum negara adalah individu. Di samping itu, hukum internasional dikatakan bersumber pada kehendak bersama atau kesepakatan negara-negara sedang hukum nasional dikatakan bersumber pada kehendak dan kekuasaan negara.[22]

Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.

Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.[23]


 

BAB II


CARA PENELITIAN


A.    Bahan atau materi Penelitian


Berdasarkan jenisnya penelitian mengenai  Aspek Hukum Internasional dalam Perkembangan Sistem Hukum Indonesia” ini merupakan penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan.  Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Adapun yang ingin dibahas dalam penelitian kualitatif adalah ingin mengkaji pemikiran, makna, cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian.[24] Yaitu mengkaji mengenai fungsi penting pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia.

B.      Alat penelitian


Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat dalam pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan masing-masing, atau bersama-sama. Apabila jenis data yang dikumpulkan bersumber dari data sekunder, sebagaimana halnya dalam penelitian normatif atau kepustakaan maka studi dokumen dipergunakan sebagai alat pengumpulan data.[25] Untuk penelitian ini alat yang dipergunakan adalah studi dokumen.

 

 

C.    Prosedur penelitian


Bahan hukum yang di analisis dalam penelitian ini melalui proses pengolahan sebagai berikut:

1.      Pemeriksaan data (editing)

Yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi pustaka dan dokumen sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan dan tanpa kesalahan.

2.      Penandaan data (coding)

Yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi serta analisis data.

3.      Penyusunan/sistematisasi data (constructing/sistematizing)

Yaitu mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah.[26]

D.    Analisis Data


Pendekatan dan metodologi yang akan digunakan:

1)      Pendekatan konseptual; yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.[27] Untuk penelitian ini yaitu dengan menganalisis aspek hukum internasional dalam hubungannnya dengan hukum Nasional dengan menggunakan teori-teori hukum internasional.

2)      Dengan melakukan kajian terhadap hukum internasional yang diratifikasi menjadi hukum nasional dalam perkembangan sistem hukum Indonesia.

a)       Studi pustaka mengenai ratifikasi peraturan-peraturan internasional yang telah disahkan menjadi undang-Undang Negara Indonesia serta menganalisis dampak yang ditimbulkan dari ratifikasi perjanjian internasional tersebut.

b)      Mengkaji tahapan-tahapan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia berdasarkan undang-Undang Nomor.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


           


A.    Hukum Internasional dan Hukum Nasional


1.      Perjanjian Internasional


Sebelum tahun 1969 perjanjian internasional diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Masyarakat internasional kemudian berusaha membuat kodifikasi hukum internasional yang bersumber dari kebiasaan internasional yang kemudian diwujudkan dalam United Nations Convention on the Law of the Treaty-UNCLT 1969 atau biasa disebut Konvensi Wina tahun 1969 yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan pandangan baru yang mengatur perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional masih berlaku bagi hal-hal yang belum diatur konvensi tersebut.

Terminologi Perjanjian Internasional

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.

pengertian perjanjian internasional (“treaty”) secara luas adalah sebagai persetujuan yang digunakan oleh dua negara atau lebih untuk mengadakan hubungan antar mereka menurut ketentuan hukum internasional (nomengeneralissmum). Konvensi Wina hanya berlaku bagi “treaty” antar negara dalam bentuk tertulis (dalam arti sempit). Hukum Perjanjian internasional yang bersumber dari The Law of the Treaties - United Nations Convention on the Law of the Treaty-UNCLT 1969 menegaskan harus dipenuhi syarat "pacta sunt servanda" yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para pihak dengan itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.

a.       Beberapa istilah perjanjian  antara lain ialah:

1)      Treaty” dalam arti sempit, adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu dan digunakan untuk menyebut persetujuan resmi mencakup perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian. Contoh:

a)      Space Treaty, 1967

b)      Treaty of Amity and Coorporation in Southeast Asia, 1976

2)      Konvensi; digunakan untuk menyebut persetujuan resmi yang multilateral atau persetujuan yang diterima oleh organ dari  suatu organisasi internasional mencakup perjanjian secara umum  biasanya bersifat law making treaty. Contoh:      

a)      Vienna Convention on the Law of Treties, 1969

b)      Vienna Convention on Diplomatic Relation, 1961

c)      Vienna Convention on Consular Relations, 1963

d)     United Nations Convention on the law of the Sea, 1982

3)      Persetujuan (Agreement); biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari treaty atau konvensi, cakupan materinya lebih  kecil dari treaty atau konvensi dan lebih sering digunakan sebagai perjanjian yang bersifat bilateral dari pada multilateral, Contoh:

a)       Rescue Agreement, 1968

b)      Moon Agreement, 1980

4)      Piagam (Charter); biasanya digunakan untuk pembentukan suatu organisasi internasional, contohnya: Charter of the United Nations, Atlantic Charter

5)      Protokol: digunakan untuk menyebut persetujuan yang isinya melengkapi suatu konvensi, contohnya:

a)      Protokol Tambahan Konvensi Wina 1961 tentang Nasionalitas Pejabat Diplomatik

b)      Protokol Tambahan Konvensi Wina 1961 tentang Penyelesaian  Sengketa

c)      Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977, Konvensi Jenewa 1949

6)      Deklarasi; kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama dengan “treaty”. Merupakan perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, namun ringkas dan padat, merupakan pernyataan sepihak dan biasanya tidak menentukan cara berlakunya, contohnya:

a)      Declaration of ASEAN Concord, 1976

b)       Declaration of Zona of Peace, Freedom and Neutrality, 1971

c)      Declaration of Human Rights, 1948

7)      Final act; berisikan ringkasan laporan sidang yang menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi yang dihasilkan dalam konferensi. Penandatangan final act hanya merupakan kesaksian berakhirnya proses pembuatan perjanjian, contoh: Final Act GATT, 1994

8)      Memorandum of Understanding; mengatur pelaksanaan teknik operasional perjanjian induk, biasanya segera berlaku setelah penandatanganan.

9)      Modus vivendi; merupakan perjanjian yang bersifat sementara, akan diganti dengan pengaturan yang tetap dibuat dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan

b.      Bentuk perjanjian berdasarkan petugas pelaksananya adalah:

1)      perjanjian internasional antar kepala negara

2)      perjanjian internasional antar pemerintah

3)      perjanjian internasional antar menteri.

c.       Bentuk perjanjian berdasarkan jumlah pihak:

1)      Perjanjian bilateral

2)      Perjanjian multilateral

Mengikatnya perjanjian Internasional

Menurut Anzilotti, perjanjian internasional berdasarkan prinsip “pacta sunt servanda” yaitu  negara tidak dapat melepaskan diri dari ikatan penjanjian internasional atau merubah ketentuannya tanpa persetujuaan pihak lawan berjanji melalui saling pengertian yang dengan demikian persetujuan negara mewajibkan negara itu untuk mentaatinya.[28]

Perjanjian internasional merupakan”res inter alios acta” yaitu pada prinsipnya perjanjian internasional hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji saja. Agar suatu perjanjian internasional dapat mengikat, perjanjian itu harus dibuat oleh pihak yang berwenang dan menurut prosedur yang berlaku. Pihak yang berwenang membuat  perjanjian internasional adalah: [29]

·         negara

·         organisasi internasional yang memenuhi persyaratan hukum internasional.

Menurut prinsip umum yang berlaku, perjanjian internasional tidak menimbulkan hak atau pun kewajiban bagi negara ketiga (“pacta tertiis nec nocent nec prosunt”). Pengecualian terhadap prinsip itu terjadi antara lain:

a)      Bila pihak-pihak yang berjanji memberi hak kepada negara ketiga,

b)      Bila perjanjian internasional bersifat multilateral yang merupakan kodifikasi hukum internasional kebiasaan yang telah ada.

c)      Bila perjanjian internasional itu bersifat multilateral yang dimaksudkan berlaku universal.[30]

2.      Tahapan Pengesahan Hukum Internasional di Indonesia


Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.

Dengan semakin berkembangnya dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Surat Presiden No. 2826/HK/1960 yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi sehingga dibuatlah Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

Adapun isi dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000 mengatur tentang:

1.       Ketentuan Umum

2.       Pembuatan Perjanjian Internasional

3.       Pengesahan Perjanjian Internasional

4.       Pemberlakuan Perjanjian Internasional

5.       Penyimpanan Perjanjian Internasional

6.       Pengakhiran Perjanjian Internasional

7.       Ketentuan Peralihan

8.       Ketentuan Penutup

Undang-Undang yang baru ini mengatur tahapan-tahapan dalam pemberlakuan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut:[31]

1.      Penandatangan;

2.      pengesahan;

3.      pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

4.      cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Dalam pembuatan perjanjian internasional subyek-subyek yang dapat menjadi para pihak dengan negara Indonesia berbunyi:[32]

a)      Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.

b)      Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Proses Pembentukan Perjanjian Internasional

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan sebagai berikut:[33]

1.      Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2.      Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

3.      Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.

4.      Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5.      Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/ accession/ acceptance/ approval).

Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia

Cara mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara, "Civil Law system" atau "Common Law System". Di dalam sistem hukum "Civil Law", penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self implementing legislation). Sebaliknya di dalam sistem hukum "Common Law", penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation).

Dalam konstitusi negara-negara pada umumnya untuk membuat suatu perjanjian internasional kewenangannya ada ditangan Badan Eksekutif. Tetapi ada juga perundang-undangan nasional beberapa negara menetapkan sebelum pengesahan dilakukan terlebih dahulu diperlukan persetujuan Badan Legislatif, dan jika persetujuan sudah diperoleh baru kemudian ratifikasi menjadi tahap terakhir dari prosedur pengikatan diri suatu negara pada suatu perjanjian internasional.

 Pada pokoknya prosedur ratifikasi ini mencakup dua aspek :[34]

1.      Tindakan legislatif, yaitu umumnya berbentuk Undang-Undang sehingga dengan diundangkannya perjanjian itu, maka perjanjian tersebut menjadi mengikat negara dipandang dari segi hukum nasional.

2.      Tindakan eksekutif, yaitu sesudah perjanjian ditandatangani oleh kekuasaan eksekutif, kemudian perjanjian disampaikan kepada badan legislatif untuk memperoleh persetujuannya, yang umumnya berupa undang-undang. Selanjutnya oleh badan eksekutif dibuatlah piagam ratifikasi, dan prosedur ini baru selesai sesudah diadakan pertukaran piagam ratifikasi.

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1.      Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

2.      Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3.      Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

4.      Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing langsung berlaku pada saat penandatanganan.

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:[35]

1.      masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

2.      perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

3.      kedaulatan atau hak berdaulat negara;

4.      hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

5.      pembentukan kaidah hukum baru;

6.      pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.  Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.[36]

3.      Pemberlakuan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional


Mengenai pemberlakuan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional telah dipaparkan ajaran-ajaran tentang kesatuan hukum internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentang perbedaan dan pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akan tetapi ajaran tersebut tidak menjelaskan jawaban langsung atas pertanyaan yang dihadapi dalam dunia “Hukum yang berlaku” (hukum positif). Hal yang diperlukan adalah untuk memberi jawaban terhadap penetapan, atau “pilihan”, yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan peranan hukum internasional, khususnya dalam perjanjian internasional. pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui suatu tindakan hukum tegas dari tata hukum nasional yang bersangkutan yang termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana hukum nasional ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnya keputusan-keputusan hakim.[37]

Tata hukum nasional dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang berwenang mengadakan peraturan-peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum dilingkungan nasionalnya. Sebaliknya, tata hukum nasional dapat juga pada asasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi hukum internasional berlaku dilingkungan hukum nasional tanpa merubah sifat internasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai hukum nasional dalam bentuk perundang-undangan hukum nasional pula.[38]

Perbandingan antara sistem-sistem hukum nasional menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah dengan cara “membuka pintu” bagi hukum internasional, yang berakibat hukum internasional itu berlaku dilingkungan hukum nasional, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai hukum internasional  tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan hukum internasional yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yang menggolongkan hukum internasional tak tertulis ini sebagai “law of the land”.  Jalan lain yang perlu ditempuh apabila tata hukum nasional, sekalipun yakin akan perlunya penerapan isi hukum internasional dilingkungan hukum nasional, menganggap perlu adanya suatu tindakan hukum nasional tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam UUD atau perundangan biasa. Dalam hal perjanjian internasional UU persetujuannya (yang dipraktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”) kadang dipakai untuk keperluan itu. [39]

Sebagai alternatif kedua cara “pemberian izin” kepada hukum internasional tersebut kita kenal kebijakan menolak secara mutlak keberlakuan hukum internasional dalam tata hukum nasional. Dalam rangka ini, pemberlakuan isi hukum internasional dilingkungan hukum nasional memerlukan pembuatan hukum nasional yang tegas memuat ataupun setidaknya tegas mengundangkan isi hukum internasional bersangkutan sebagai hukum nasional (transformasi).

B.     Implementasi hukum internasional di Indonesia


Dalam penerapan hukum internasional, Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Terkadang perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut.

 

Hukum internasional mewajibkan dan memberi wewenang kepada negara-negara. Ia mewajibkan negara-negara untuk berperilaku dengan cara tertentu dengan melekatkan “sanksi” (tindakan pembalasan atau perang) kepada perilaku yang sebaliknya; dengan cara ini hukum internasional melarang perilaku ini sebagai pelanggaran dan menganjurkan perilaku yang sebaliknya.[40] Di bawah ini akan dipaparkan beberapa implementasi hukum internasional dalam bidang Hukum Laut, Hukum Lingkungan dan hukum ekonomi

1.      Implementasi Hukum Laut Internasional di Indonesia


Pemerintah Indonesia telah aktif dalam berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958 khususnya dalam Konferensi Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia telah menandatangani hasil konferensi tersebut yaitu Konvensi mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas (Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), serta Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea). Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun kemudian konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak ditandatangani dan diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam Deklarasi Juanda yang menyatakan wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak 12 mil dari pantai namun bukan merupakan satu kesatuan dalam hal wilayah yang dimiliki secara khusus seperti Deklarasi Juanda.

Lahirnya deklarasi Djuanda karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas membentang diantara pulau-pulau sebagai penghubungnya. Pada awalnya Indonesia menggunakan konsep penarikan garis pangkal lurus dan garis pangkal normal sejauh 3 mil laut sehingga ada bagian “laut dalam” di antara pulau-pulau di Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas berdasarkan Kringen Ordonantie 1933 yang menyatakan masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil. Akibat dari adanya laut bebas di antara pulau-pulau Indonesia maka kapal-kapal asing dapat dengan bebas berlayar melintasi lautan tersebut. Hal ini berdampak pada kerawanan keamanan dan ketahanan Bangsa. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuatlah suatu konsep yang baru. Pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda konsep "Negara Kepulauan" dicetuskan, Indonesia menyebutnya sebagai “Wawasan Nusantara” yang menetapkan bahwa laut wilayah Indonesia mencakup kedaulatan di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Nusantara.

Wawasan Nusantara kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Perpu No. 4 Tahun. 1960 tentang Perairan Indonesia yang pada intinya menyatukan perairan Indonesia menjadi satu kesatuan meskipun pada saat itu bertentangan dengan konsep hukum internasional yang belum mengakui adanya perairan kepulauan. Undang-Undang Perpu Nomor.4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia mempunyai peranan penting. Undang-undang ini lahir sebagai bentuk legalisasi terhadap Deklarasi Djuanda tahun 1957. Selain sebagai bentuk legalisasi, Undang-undang ini dapat juga disebut sebagai Politik Kewilayahan NKRI yang pertama.[41]

Konsep negara kepulauan tersebut kemudian dipromosikan serta diperjuangkan dalam sidang-sidang persiapan Konferensi hukum laut oleh negara-negara kepulauan seperti Fiji, Indonesia, Philipina, dll. Produk hukum dan politik yang lahir murni dari konsep wawasan nusantara ini  pada masa itu masih dianggap sebagai hukum yang tidak sejalan dengan hukum internasional. Namun, melalui politik diplomasi dengan negara-negara tetangga serta negara kepulauan lainnya perjuangan pengakuan wawasan nusantara mernbuahkan hasil dengan disepakatinya konsep negara kepulauan di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994 setelah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara meratifikasi) sehingga dapat diberlakukan.

UNCLOS  1982 memasukkan negara kepulauan (“archipelagic state”) sebagai konsep hukum internasional. Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari negara kepulauan Indonesia. Dengan konsep ini maka semua “laut dalam” di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dihitung lagi sebagai laut bebas tetapi sebagai perairan kepulauan yang termasuk sebagai laut teritorial Negara kepulauan Indonesia. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).

Uniknya kedudukan hukum laut di Indonesia ini, setelah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985 tidak serta merta menggantikan Undang-Undang Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, sehingga pada saat yang bersamaan berlaku Undang-Undang ratifikasi UNCLOS dan berlaku juga Undang-Undang Perpu No. 4 Tahun 1960. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meratifikasi perjanjian internasional tidak serta merta menyebabkan peraturan ratifikasi tersebut langsung berlaku menjadi hukum nasional Indonesia

Bukti lain yang menunjukkan bahwa undang-undang ratifikasi tidak serta merta menjadi hukum nasional adalah bahwa sampai sekarang Indonesia masih belum memiliki Zona Tambahan yaitu suatu zona dari laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial dimana negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang dibutuhkan untuk mencegah pelanggaran atas perundang-undangannya yang berkenaan dengan Bea Cukai (Customs), Perpajakan (Fiscal), Keimigrasian (Immigration) dan kesehatan (sanitary). Dalam UNCLOS 1982 dinyatakan dalam pasal 33 ayat (2) lebar dari zona tambahan tersebut tidak lebih dari 24 mil laut diukur dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial diukur. Jika perjanjian yang telah diratifikasi berlaku juga sebagai hukum nasional maka asumsinya dengan meratifikasi UNCLOS 1982 Indonesia seharusnya telah secara langsung memiliki Zona Tambahan.

Adapun beberapa peraturan laut internasional lainnya yang disahkan oleh Indonesia antara lain:

NAMA PERJANJIAN INTERNASIONAL
PENGESAHAN
MASALAH YANG DIATUR
Convention on the Continental Shelf 1958, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958, Convention on the High Seas 1958
Undang-undang   No. 19 /1961 Tgl. 6 September 1961
 
Pengaturan Landas Kontinen, Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi Laut Lepas
Convention on the International Regulation  for Preventing  Collision at Sea 1960
KEPPRES No. 107/1968
D I C A B U T
Pengaturan mengenai pencegahan kecelaka-an/tubrukan kapal di laut.
International Convention on Load Lines 1966
KEPPRES No. 47/1976 Tgl. 2 November 1976
Pengaturan Mengenai Jalur Pelayaran
Convetion on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1972
 
KEPPRES No. 50/1979 Tgl. 11 Oktober 1979
 
Penyempurnaan Convention 1960 tentang pencegahan tubrukan kapal di laut
International Convention for Safe Containers 1972
 
KEPPRES No. 33/198917 Juli 1989
Pengaturan Mengenai Keselamatan dan Sertifikasi Peti Kemas
International Convention for the Safety of Life at Sea 1974
 
KEPPRES No. 65/1980 Tgl. 9 Desember 1980
Pengaturan Mengenai Keselamatan di Laut
Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the Safety of Life at Sea 1974 
KEPPRES No. 21/1988 Tgl. 29 Juni 1988
Protokol Mengenai Keselamatan di Laut.
International Convention on Standards of Training, Certification & Watch Keeping for Seafarers, 1978
KEPPRES No. 60/1986 Tgl. 4 Desember 1986
Pengaturan Mengenai Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Pengamatan Bagi Pelaut
Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC) 1990
KEPPRES No. 86/1993 Tgl. 16 September 1993
Pengaturan mengenai kerjasama kelautan di Samudera Hindia
Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1987 Tentang Pengesahan Agreement For The Establishment Of The Intergovernmental Organization For Marketing Information And Technical Advisory Service For Fishery Product In The Asia Pacific Region (Infofish)
UU Nomor 1 Tahun 2001
Pengaturan mengenai pencabutan persetujuan infofish
Pengesahan Agreement For The Establishment Of The Indian Ocean Tuna Commission
UU Nomor 9 Tahun 2007
Persetujuan Tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia
Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of The Socialist Republic Of Vietnam Concerning The Delimitation Of The Continental Shelf Boundary, 2003
UU Nomor 18 tahun 2007
Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam Tentang Penetapan Batas Landas Kontinen, 2003
Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising The Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958
UU Nomor 1 tahun 2008
Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958

Sumber: Pramudianto, A, 1993, Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup, dan dari http://www.setneg.go.id/

 

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa untuk pengaturan hal-hal yang bersifat penting seperti pengaturan mengenai masalah perbatasan dan keikutsertaan dalam kerjasama internasional maka peraturan tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sedangkan untuk pengaturan teknis maupun standarisasi keselamatan di laut banyak dituangkan dalam bentuk Keppres.

Akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang mencabut Undang-Undang Perpu No.4 Tahun 1960. Dengan pergantian Undang-Undang ini sempat menimbulkan kondisi dimana Indonesia tidak memiliki titik pangkal dan garis pangkal kepulauan sebagai fondasi pagar batas maritim NKRI. Pada 16 Juni 1998, Pemerintah mengeluarkan PP No.61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar perairan Natuna. Peraturan Pemerintah ini akhirnya diintegrasikan kedalam PP No.38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Namun daftar koordinat tersebut direvisi kembali terkait harus diubahnya titik dasar kepulauan Indonesia yang ada di Laut Sulawesi, pasca putusan Mahkamah Internasional terkait Pulau Sipadan Ligitan dan juga penambahan beberapa titik pangkal di sekitar Pulau Timor. Terakhir Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Dalam kaitan pentingnya pemberlakuan hukum laut inernasional ke dalam hukum nasional Indonesia hal ini menunjukkan beberapa hal, yaitu:

1.      UNCLOS 1982 khususnya dalam pengaturan mengenai negara kepulauan merupakan wadah dari aspirasi nasional Indonesia, sehingga di sini dapat disimpulkan bahwa konsep hukum nasional suatu negara dapat menjadi bagian dari hukum internasional jika negara-negara lain mau mengakuinya secara formal.

2.      Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut yang luas, sehingga pengaturan yang berkaitan dengan kelautan merupakan suatu hal yang penting untuk Indonesia demi menjaga keamanan dan melestarikan kekayaan laut Indonesia.

3.      Pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional merupakan proses untuk mengesahkan suatu peraturan sehingga merupakan suatu pernyataan bahwa Indonesia telah terikat dengan perjanjian internasional tersebut (consent to be bound). Dalam hal ini, dengan meratifikasi UNCLOS 1982 maka menjadi dasar hukum dari Undang-Undang Nomor.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dalam pengaturan laut negara kepulauan.

4.      Pentingnya pengaturan standar keselamatan pelayaran di laut menyebabkan urgennya hukum laut internasional untuk diberlakukan ke dalam hukum nasional karena menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran dan awak kapal di perairan nasional.

2.      Implementasi Hukum lingkungan internasional di Indonesia


Dewasa ini persoalan kemerosotan kualitas lingkungan tidak hanya menjadi masalah nasional suatu negara, melainkan juga masalah internasional. Dalam banyak hal, persoalan lingkungan, terutama persoalan pencemaran. bersifat transboundary. Hal ini berkaitan dengan adagium ”pollution knows no boundary” dimana pencemaran lingkungan tidak mengenal batas-batas suatu negara. Satu pencemaran lingkungan dampaknya dapat terjadi hanya pada satu negara, mengenai dua negara atau beberapa negara bahkan untuk kasus pemanasan global dampak yang dirasakan telah mendunia. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka hukum lingkungan internasional menjadi urgen untuk mengatasi persoalan lingkungan.

kesepakatan yang muncul dalam praktek internasional menetapkan bahwa pembangunan harus memperhatikan akibat ekologis dari negara yang sedang berkembang, bahwa pengelolaan yang tepat atas sumber kekayaan alam sangat penting dalam negara yang sedang berkembang, bahwa akselerasi pembangunan di negara yang sedang berkembang dapat meningkatkan kemampuannya untuk memperbaiki lingkungannya.

Hingga saat ini telah diadakan beberapa konferensi yang sangat penting mengenai lingkungan hidup yaitu di Stockhom (1972), Nairobi (1982), Rio De Janerio (1992), New York (1997) dan Johanesburg (2002). Beberapa dari pertemuan tersebut telah menghasilkan dokumen-dokumen penting baik yang bersifat hard law (legally binding) maupun soft law (non legally binding). Hasil dari Konferensi Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on human Environment/UNCHE) yang diadakan di Stockholm, Swedia salah satunya menghasilkan Deklarasi Stockholm 1972.[42]

Dalam “Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment” terdapat 26 prinsip tentang perbuatan internasional dan nasional di bidang lingkungan. Di antara prinsip-prinsip itu terdapat tiga prinsip hukum lingkungan internasional, yakni:

1.      negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber-sumbernya sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungannya;

2.      negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dalam wilayah yurisdiksi atau pengawasannya tidak menyebabkan kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan wilayah di luar batas yurisdiksi nasionalnya.

3.      negara berkewajiban untuk bekerja sama mengembangkan lebih lanjut hukum internasional yang mengatur pertanggungjawaban dan kompensasi bagi korban polusi dan kerugian lingkungan lain yang disebabkan oleh kegiatan sejenis pada wilayah di luar yurisdiksi nasionalnya.

KTT Bumi tahun 1992 di Rio De Janerio, Brazil atau disebut United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) telah sepakat menghasilkan dokumen-dokumen seperti Deklarasi Rio, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Kehutanan.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga merasakan dampak dari perubahan iklim di dunia. Indonesia merupakan negara yang beresiko tinggi terhadap dampak pemanasan global karena menurut ilmu pengetahuan mengindikasikan daerah tropis akan mengalami lebih banyak dampak di bidang agrikultur daripada negara-negara di daerah lainnya. Karang-karang dan perikanan juga akan mengalami dampak buruk perubahan iklim. Masyarakat yang tinggal di daerah tropis yang hidup di lingkungan temperatur di atas rata-rata daerah lain, akan sulit untuk beradaptasi dengan temperatur yang semakin memanas. Hal lain, sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut. Naiknya permukaan air laut akan memberikan dampak lebih merusak kepada kota-kota yang posisinya rendah dari air laut seperti kota Jakarta dan Surabaya.[43]

Selain itu, Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografi dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut yang luas mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar. dengan struktur geografi di atas Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Dengan politik luar negeri yang berdasarkan bebas dan aktif Indonesia perlu ikut aktif mengambil bagian bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional lainnya dalam upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Pada tahun 1997 UNFCCC mengadakan konferensi yang dikenal dunia dengan Protokol Kyoto. Konferensi ini membahas mengenai usaha-usaha untuk mengurangi pemanasan global, terutama terkait dengan emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia, atas anjuran Komnas Perubahan Iklim, ikut serta menandatangai protokol ini pada tahun 1997. Protokol Kyoto sendiri dinyatakan akan berlaku jika negara yang ikut serta dalam pengesahan berjumlah 55 negara. Maka, pada saat Rusia ikut mengesahkan protokol ini pada 16 Februari 2005, dan menjadi negara yang ke-55, pada saat inilah protokol ini dapat mengikat negara–negara anggotanya untuk tunduk pada aturan yang telah ditetapkan. Protokol ini efektif mewajibkan anggotanya untuk mematuhi peraturan mengenai pengurangan emisi karbon mulai tahun 2006-2012, selanjutnya akan dilakukan ratifikasi ulang untuk meninjau apakah perjanjian ini bisa dilangsungkan lagi dalam waktu yang lebih lama.[44]

Secara sederhana, laju emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, bisa diturunkan dengan cara membeli kredit karbon atau membayar proyek yang mengurangi, menetralisir atau menyerap emisi gas rumah kaca, melalui lembaran sertifikat semacam surat berharga yang beredar di pasar karbon. Karbon di sini merujuk kepada enam gas rumah kaca yang dianggap mempunyai peran besar dalam pemanasan global, yaitu karbondioksida (CO), methana (CH4), nitrogen oksida (NO), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur hexaflourida (SF6).[45]

Protokol Kyoto membagi anggotanya ke dalam 2 (dua) golongan yaitu Negara Annex I, yang merupakan negara industri maju dan Negara Non-Annex I yang merupakan negara berkembang atau miskin. Negara Annex I wajib mengurangi emisi karbon secara bertahap. Negara Non-Annex I tidak wajib melakukan hal ini, tetapi dapat berpartisipasi secara sukarela untuk ikut mengurangi emisi karbon di dunia. Negara Annex I dapat mengurangi emisi karbonnya dengan berbagai cara termasuk membeli sertifikasi pengurangan karbon dari pasar karbon yang dibagi menjadi 3 jenis pasar yaitu:

1.      Emission Trading (ET),

2.      Joint Implementation (JI),

3.      Clean Development Mechanism (CDM).

ET adalah sistem transaksi yang mengizinkan negara Annex I untuk saling membeli atau menjual kredit karbon untuk memenuhi kewajibannya. Joint Implementation (JI) mengizinkan negara Annex I untuk memperoleh kredit karbon melalui proyek–proyek yang menurunkan emisi gas rumah kaca bersama dengan negara Annex I lainnya. CDM sendiri adalah transaksi berbasiskan proyek yang dilakukan negara Annex I di negara miskin/berkembang. Setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon akan dinilai dengan satu Certified Emissions Reductions (CER). Sertifikat ini dapat dijual dalam pasar primary CDM maupun dijual kembali dalam pasar secondary CDM.

Sebagai salah satu negara yang peduli terhadap isu global ini maka Indonesia ikut serta meratifikasi UNFCCC pada 23 Agustus 1994, melalui Undang-Undang. No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam UNFCCC, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mendirikan Komisi Nasional (Komnas) Perubahan Iklim yang disahkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) melalui Kepmen No. 53 Tahun 2003. Komnas ini bertugas untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan antisipasi perubahan iklim. Dalam hal ini, Komnas Perubahan Iklim juga mendukung usaha-usaha pemerintah untuk mengikuti even-even internasional yang terkait dengan usaha-usaha untuk mengurangi dan memerangi perubahan iklim dunia.[46]

Sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia juga perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy).Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap gas rumah kaca. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto.

Pada tahun 2001, Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia melakukan penelitian tentang CDM yang berjudul Studi Strategi Nasional CDM di Sektor Energi Indonesia (National Strategy Study-NSS), yang menilai potensi CDM dan implementasinya dalam sektor non LULUCF (Land Use, Land Use–Change and Forestry). Menurut laporan NSS, Indonesia memiliki potensi saham 2% dari CDM pasar global dengan total volume 125-300.000.000 ton. Profit potensial yang bisa didapatkan Indonesia dari hasil penjualan Certified Emission Reduction (CER) adalah sebesar  1,5- sampai 5/t CO,  pendapatan potensial antara 187,5 s/d 1.650 juta US $, yang terdiri dari biaya sebesar 106 s/d 309 juta US $ dan keuntungan sebesar 81,5 s/d 1.260 juta US $.[47]

Berdasarkan data di atas maka keuntungan potensial dari CDM cukup menjanjikan sehingga perlu untuk ditindaklanjuti secara lebih intensif. Maka untuk mewujudkan hal itu Indonesia meratifikasi Kyoto Protocol melalui Undang-Undang No.17 Tahun 2004. Indonesia juga mengesahkan pembentukan komisi nasional mekanisme pembangunan bersih menjabat sebagai otoritas nasional yang ditunjuk, melalui Keputusan Menteri lingkungan No 206/2005. Keputusan itu disahkan pada tanggal 21 Juli 2005 sebagai bentuk pelaksanaan teknis dari CDM.[48]

Dalam menunjang rezim perubahan iklim, Indonesia telah mengembangkan strategi pembangunan nasional untuk mengatasi perubahan iklim, yang terdiri dari:[49]

1.      tiga tingkatan strategi yaitu Pro-rakyat miskin, pro-job, dan Pro-growth policies. Implementasi dari kebijakan tersebut dengan menekankan prinsip Pro- Lingkungan, seperti precautionary principle, polluter pays principle dan preventive principle.

2.      Agenda mitigasi yang memfokuskan pada kegunaan utama dari program pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus secara jelas mengacu pada target pengurangan gas rumah kaca dan efisiensi energi.

3.      agenda adaptasi yang mengembangkan rencana pertumbuhan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim saat ini dan mengantisipasi dampak masa depan

banyak keuntungan dari penggunaan CDM dari Kyoto Protokol dalam kerangka kerja PBB untuk mengatasi perubahan iklim dalam mensuport dana dari proyek infrastruktur dalam skala besar yang secara potensial dapat  menghasilkan sertifikasi emisi secara signifikan.[50]

Pentingnya regulasi hukum lingkungan internasional dapat dilihat dari hasil penelitian Dan Esty dan Michael Porter yang menguji secara empiris pengaruh regulasi lingkungan suatu negara terhadap kualitas lingkungan. Hasil dari penelitian ini berdasarkan analisis intensitas regulasi dan kualitas lingkungan di banyak negara maju dan negara berkembang, menyatakan bahwa perkembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan berjalan seiring dengan peningkatan institusi negara dan secara lebih khusus melalui regulasi-regulasi lingkungan. Bukti empiris menyatakan bahwa negara mendapat keuntungan (benefit) di bidang lingkungan tidak hanya dari pertumbuhan ekonomi, namun secara seimbang juga dari perkembangan peraturan hukum dan penguatan struktur pemerintahan. [51]

Jika di lihat dari hasil penelitian Esti dan Porter di atas maka jika Indonesia mengimplementasikan hukum lingkungan internasional ke dalam hukum nasional maka hal itu akan menambah perkembangan peraturan hukum nasional, sejalan dengan itu jika pelaksanaan peraturan lingkungan itu berjalan efektif maka diharapkan akan mendapatkan hasil seperti yang telah dibuktikan oleh Esti dan Porter yaitu perkembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan yang lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pentingnya peranan hukum lingkungan internasional dalam hukum nasional indonesia dengan beberapa alasan:

a.       Di dalam negeri, akan menambah lagi perangkat hukum yang lebih menjamin kepastian hukum atas terselenggaranya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Ketentuan-ketentuannya akan menjadi bagian dari hukum nasional yang mengatur masalah iklim dan lingkungan.

b.      Di luar negeri, akan menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan global, khususnya pada masalah perubahan iklim bumi yang dampaknya akan menimbulkan keprihatinan bersama umat manusia.

c.       Dengan mengimplementasikan hukum lingkungan internasional maka dapat mendorong perkembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan di Indonesia.

d.      Adanya alih teknologi dan pertukaran komunikasi dalam proses CDM akan mempercepat kemajuan bangsa Indonesia dalam bidang industri.

3.   Implementasi Hukum Ekonomi Internasional di Indonesia


Definisi ekonomi internasional adalah ilmu ekonomi yang membahas akibat saling ketergantungan antara negara-negara di dunia, baik dari segi perdagangan internasional maupun pasar kredit internasional. Sumber energi Amerika Serikat, misalnya, sangat bergantung pada produsen luar negeri, sedangkan Jepang mengimpor hampir setengah dari makanan yang di konsumsi oleh penduduknya. Sebaliknya, negara-negara berkembang sangat membutukan teknologi yang dikembangkan dan dihasilkan oleh negara-negara industri. Dalam jangka panjang, pola perdagangan internasional ditentukan oleh prinsip-prinsip keunggulan komparatif.[52]

Dalam hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat. Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.[53]

Dalam masyarakat internasional tampak adanya keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi perdagangan internasional.[54]

Perubahan orientasi pembangunan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat internasional dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II. Sebelumnya, masyarakat internasional umumnya masih dikendalikan oleh dominasi sistem kolonial Eropa. Pada saat itu pembangunan ekonomi suatu bangsa sangat ditentukan oleh dominasi kekuasaan negara kolonialnya. Setelah akhir Perang Dunia II, muncul tuntutan keseimbangan hubungan antar negara di dunia. Secara faktual ini mendorong terjadinya perubahan dalam tatanan ekonomi global. Perubahan tata ekonomi global ditandai oleh terjalinnya kerjasama global, regional, dan bilateral yang cenderung diarahkan pada kerja sama di bidang pembangunan ekonomi bangsa-bangsa. Dalam tingkat regional, negara-negara Asia Tenggara menyatukan visi pembangunan ekonomi ke dalam organisasi Asean Free Trade Area (AFTA). Begitu pula pada kawasan regional Asia Pasifik, mereka menyatukan diri dalam lembaga yang kemudian dikenal dengan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC).[55]

Hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial misalnya, aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau regulasi yang mengatur blok-blok perdagangan regional, regulasi yang mengatur komoditi, dsb. Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional. [56]

Disepakatinya GATT-Putaran Uruguay menandakan munculnya era libe­ralisasi perdagangan dunia tanpa proteksi dan tanpa hambatan, dan mempertinggi tingkat persaingan perdagangan antar pelaku-pelaku ekonomi. Di samping itu, semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut wajib untuk menyesuaikan hukum nasional mereka dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam GATT. Apabila hal ini tidak dilakukan maka WTO (World Trade Organization), selaku badan yang berfungsi untuk menafsirkan dan menjabarkan isi perjanjian GATT serta menyelesaikan sengketa di antara negara anggotanya, akan memberikan sanksi yang dapat merugikan kepentingan ekonomi dan perdagangan negara tersebut.

Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional yang dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional, misalnya di dalam hal surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global.[57]

Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara. Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:[58]

a.       untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.

b.      untuk meningkatkan volume perdagangan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara;

c.       meningkatkan standar hidup umat manusia; dan

d.      meningkatkan lapangan tenaga kerja.

Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:

a.       untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara; dan

b.      meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.

Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin kondusif. [59]

Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, terdapat dua teori berbeda, yaitu monisme dan dualisme. Namun demikian, apa pun teori yang dipilih, secara umum telah diterima bahwa ketentuan hukum internasional memiliki dampak tertentu pada hukum nasional. di mana negara diberkati dengan hak-hak melalui perjanjian internasional, mereka juga harus mengasumsikan kewajiban yang sesuai. Hal ini terjadi karena setiap hak yang didapat oleh suatu negara maka hal tersebut menjadi kewajiban bagi negara lain atau komunitas internasional tersebut. Timbal balik yang terjadi secara alami ini merupakan komitmen yang menjadi dasar hukum internasional. dalama rangka untuk memenuhi kewajibannya sendiri, setiap negara harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam saat yang bersamaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam hubungan hukum internasional publik namun juga terjadi dalam norma internasional di sektor ekonomi. Sebagai contoh, pasal dalam perjanjian IMF mengharuskan kontrak valuta asing yang melanggar peraturan valuta asing setiap anggota tidak akan ditegakkan oleh setiap anggota lainnya (article VIII 2 (b) of the Agreement of the International Monetery Fund). Hal ini jika dibandingkan dengan hubungan antara ketentuan hukum internasional dan hukum nasional dalam masyarakat dunia maka tidak ada bedanya dengan contoh diatas.[60]

Sebagaimana ditunjukkan oleh WTO, penetrasi norma internasional ke dalam hukum nasional memiliki karakterisitik level yang tinggi (high-level), konkret dan memiliki kekuatan mengikat. salah satu fitur dari WTO adalah satu upaya tunggal dimana tidak ada reservasi yang diperbolehkan. Tidak seperti perjanjian internasional lainnya, perjanjian WTO menyediakan standar minimum untuk perdagangan barang dan jasa serta perlindungan hak milik intelektual.[61]

Hal-hal yang diatur WTO tidak hanya terkait dengan persoalan perdagangan saja; tetapi telah meluas ke berbagai sektor ekonomi dan kehidupan manusia, seperti hak atas kekayaan intelektual (HAKI), bidang pertanian, dan bidang investasi jasa. Dengan adanya WTO, perjanjian perdagangan multilateral (Multilateral Trade Agreements - MTAs) mencakup perdagangan barang(Trade in Goods), perdagangan jasa (Trade in Services/GATS), perdagangan yang terkait dengan aspaek HAKI (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang tertuang dalam annex-1, dari instrumen legal yang berhubungan dengan itu yang tertuang dalam annex-2 dan annex-3.[62]

Dunia hukum juga tidak terlepas dari dampak globalisasi, aturan-aturan hukum yang ada di bentuk sedemikian rupa agar ketentuan-ketentuan yang ada tidak berbenturan dengan tujuan dari globalisasi tersebut. Sebagai negara yang berdaulat, Sistem hukum di Indonesia harus memiliki proteksi-proteksi dari dampak nagatif  globalisasi. Sistem hukum ekonomi Indonesia harus berpihak kepada ekonomi rakyat sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan bukan mengabdi kepada sistem ekonomi kapitalis yang mengkultuskan pasar bebas.[63]

Dalam perkembangan Indonesia proses nasionalisasi hukum internasional secara formal boleh dikatakan dimulai pada masa Orde Baru, yaitu dalam rangka mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Menyusul tindakan pemerintah Orde Baru mengundang investor asing untuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia, mulailah secara sistematis dan berkelanjutan proses nasionalisasi kaidah hukum internasional terjadi. Mengawali proses nasionalisasi di atas, kaidah hukum internasional yang termasuk pertama kali menjadi kaidah hukum nasional positif di Indonesia adalah “Convention on the Settlement of Investment Disputes.[64]

Selain itu Indonesia jug meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam organisasi internasional World Trade Organization (WTO), dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya. Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan” hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, oleh semua penegak hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.[65]

Indonesia telah meratifikasi World Trade Organization (WTO) Agreement melalui Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1994. Hal Ini diikuti pula dengan pembuatan beberapa undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual, yang merupakan penjabaran TRIPs, dan TRIPs adalah bagian dari WTO Agreement. Relevan dengan WTO Agreement adalah prinsip “direct effect” seperti dipraktikkan di negara lain.[66]

Dalam melakukan reformasi hukum ekonomi di Indonesia ada dua faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama, reformasi hukum ekonomi wajib mengacu pada hasil-hasil GATT yang telah disepakati Indonesia[67], jika hal ini tidak dilakukan, maka pelaku-pelaku ekonomi Indonesia akan mengalami kesulitan bila melakukan transaksi di dunia bisnis internasional; kedua, reformasi hukum ekonomi harus memberi perhatian pada persoalan ekonomi kerakyatan atau keadilan ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.[68]

Sebagai anggota WTO, Indonesia mendukung kebijakan perdagangan global yang bebas dan adil, dimana tujuan jangka panjang dari WTO adalah meliberalkan perdagangan dunia melalui 3 pilarnya, yaitu perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan domestik (domestik support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan subsidi ekspor (export subsidy). Namun faktanya perdagangan internasional dan hasil perundingan contohnya di bidang pertanian di WTO lebih banyak merugikan negara-negara sedang berkembang.[69]

Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan untuk menciptakan sistem perdagangan sektor pertanian yang adil dan berorientasi pasar tersebut antara lain:

1.       Negara-negara maju masih tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan dukungan domestik melalui subsidi kepada petaninya, terutama produsen pangan dan peternakan. Subsidi yang besar dari negara-negara maju tersebut mengakibatkan persaingan tidak adil di pasar dunia.

2.      Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor yang besar untuk produk-produk pertaniannya. Kelompok negara Uni Eropa memberikan tingkat subsidi tertinggi, yaitu mencapai 23,2 milyar USD atau 90 persen dari total nilai subsidi seluruh anggota WTO pada kurun waktu 1995-1998 , subsidi ekspor itu menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negaranegara maju, sehingga dapat dipandang sebagai instrumen untuk fasilitasi praktik dumping yang dilarang WTO.

3.      Ketidakseimbangan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM, dan infrastruktur antara negara maju dan negara berkembang menyebabkan  ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field. Di negara-negara berkembang pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya,karakteristik usaha pertanian umumnya masih bersifat subsistem, belum berorientasi komersial secara penuh. Artinya, pertanian masih menjadi perikehidupan dan kebudayaan masyarakatnya. Kondisi yang demikian kurang selaras dengan aturan dalam Agreement of Agriculture (AoA) dan mekanisme pasar yang hanya sesuai bagi industri pertanian moderen yang berorientasi pasar di negara-negara maju.

4.      Ketidakadilan dalam membuka akses pasar, dimana di satu sisi negara maju memaksa negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya, sementara di sisi lain berusaha membatasi akses pasar bagi produk-produk negara berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif eskalasi, perlindungan sanitary dan phyto-sanitary, dan non-trade barrier lainnya.

Namun Keuntungan dalam sistem perdagangan WTO yang juga dapat dirasakan oleh Indonesia antara lain dapat dikelompokkan dalam beberapa hal penting, yaitu :

1.      Peraturan-peraturan yang sesuai dengan sistem multilateral akan memudahkan perdagangan antar negara.

2.      Sistem perdagangan multilateral mendorong pengurangan tarif dan hambatan non-tarif, sehingga biaya hidup menjadi lebih murah.

3.      Sistem perdagangan multilateral memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada konsumen

4.      Sistem perdagangan multilateral mendorong pertumbuhan ekonomi.

5.      Prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan WTO yang nondiskriminasi, bila secara konsisten diterapkan akan mendorong perdagangan berjalan lebih efisien.

6.      Persengketaan antarnegara dapat ditangani secara konstruktif

7.      Pemerintah negara- negara anggota akan terlindungi dari praktik – praktik persaingan dagang antar negara yang tidak sehat.

Meskipun ada kelemahan dalam WTO namun manfaat yang dirasakan juga cukup besar, dimana Hukum ekonomi internasional ini berfungsi untuk memfasilitasi perdagangan antara negara, menghindari konflik, dan memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia dalam lingkup bisnis.

Contoh lain dari pemberlakuan hukum ekonomi internasional adalah dengan diberlakukannya China Asean Free Trade Agreement (C-AFTA) per 1 Januari 2010. Eksistensi lembaga-lembaga pedagangan tersebut, secara faktual ini akan berimplikasi pada negara-negara anggota (contracting parties). Sebulan setelah pemberlakuan C-AFTA pada tanggal 1 Januari 2010, mendapatkan penolakan dari banyak kalangan, terutama dari pelaku-pelaku usaha yang belum siap bersaing dengan produk-produk dari luar. Mereka meminta pemerintah melakukan proteksi-proteksi terhadap produk pelaku usaha kecil mulai dari pemberian subsidi sampai kepada penundaan pelaksanaan C-AFTA tersebut.

Sebenarnya, dasar pemikiran C-AFTA telah mulai diperbincangkan sejak 10 tahun silam. Ditandai dengan penandatanganan ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation oleh para kepala negara anggota ASEAN dan Chin pada 6 November 2001. Komitmen kerangka perjanjian ini terus dimatangkan dalam beberapa penandatanganan perjanjian pada tahun-tahun berikutnya. Indonesia pun telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 pada 15 Juni 2004. Persetujuan jasa C-AFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Filipina pada 2007. Sedangkan persetujuan investasi ASEAN China ditandatangani di Thailand pada 2009. [70]

Dalam perjanjian itu pula menyepakati pelaksanaan liberalisasi penuh pada tahun 2010 terhadap enam negara ASEAN termasuk Indonesia dengan China. Menyusul di 2015, juga akan berlaku bagi negara ASEAN lainnya yakni Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Seiring proses pematangan konsep perdagangan bebas itu, beberapa Keputusan Menteri Keuangan terbit untuk menyinergikan kebijakan nasional dengan perjanjian C-AFTA. Salah satunya adalah tentang penetapan tarif bea masuk atas impor barang. Masalah tarif bea masuk menjadi salah satu isu penting dalam kesepakatan ini. Sebab, tujuan C-AFTA adalah untuk memperkecil bahkan menghilangkan hambatan perdagangan untuk meningkatkan perdagangan. Kemudian, diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dalam produksi dan konsumsi negara-negara anggota. [71]

Dengan diberlakukannya C-AFTA banyak memberi dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dunia yang tanpa batas, keluar masuk barang yang intens serta interaksi dengan dunia luar disatu sisi memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakat. Namun disisi yang lain, pemberlakuan C-AFTA ini semakin menambah penderitaan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Mereka digiring kepada sebuah dunia dimana kekuatan pasar menjadi panglima, hilangnya subsidi dan peranan dari negara dalam bidang ekonomi sehingga multi player effect dari kemiskinan menjadi meningkat seperti tingginya angka  kriminal.

Skenario liberalisasi melalui perjanjian perdagangan bebas memberikan dampak keseluruh pelosok negeri. Hal ini disebabkan karena barang-barang impor dari China dan negara-negara ASEAN lainnya akan menyerbu sampai ke desa-desa. Sedangkan upaya-upaya protektif terhadap produk-produk lokal berupa pemberian subsidi merupakan hal yang dilarang didalam perjanjian C-AFTA tersebut. Akibatnya akan banyak pengusaha-pengusaha kecil diseantero negeri ini akan gulung tikar, karena digilas oleh produk-produk dari negara lain yang murah meriah dan berteknologi tingggi.

Pada awalnya, kesepakatan C-AFTA memunculkan niat untuk bisa menciptakan kemakmuran serta menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara negara-negara anggota. Caranya, dengan peningkatan kerjasama ekonomi seperti perdagangan dan investasi. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Pasti akan ada yang kalah dan menang, walaupun mungkin saja hanya sementara waktu. Dengan gap yang menganga lebar antara perekonomian China dengan negara anggota ASEAN, tentu saja pasti pihak yang lebih lemah yang dirugikan. Peluang memperluas pasar dan meningkatkan ekspor ke China, tetap terbuka, namun tak seimbang dengan kecepatan arus impor produk-produk China. Apalagi, ketergantungan Indonesia terhadap impor produk bahan baku industri dari China tidak kecil. [72]

Sejumlah praktisi di industri dan kalangan asosiasi pun mulai merapatkan barisan. Mereka sepakat menolak penandatanganan perjanjian tersebut, Soalnya bila sampai ditandatangani maka akan mengancam kestabilan industri nasional.  Jangan sampai pemerintah menandatangani perjanjian tersebut. Soalnya produk nasional bisa kalah bersaing dengan produk impor dari China. Apalagi bila pemerintah sampai membebaskan pajak impor hingga nol persen. Tentu saja bila pemerintah tetap bersikeras menanadatangani perjanjian tersebut, maka bisa dipastikan akan terjadi defisit perdagangan. Ini akan menimpa 10 sektor industri yang akan kembali ke titik nadir. Industri manufaktur nasional masih butuh perlindungan bukan malah dibiarkan mau menghadapi China. Jika dibiarkan, ancaman PHK dan deindustrialisasi akan menjadi kenyataan.[73]

Ternyata terbukti, dampak pelaksanaan C-AFTA yang sudah berjalan lebih dari setahun ini sangat besar buat industri lokal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menghitung, nilai impor produk industri China di 2010 naik 45% menjadi US$ 20,42 miliar dibanding 2009. Sementara itu, peningkatan nilai ekspor produk industri Indonesia ke China di 2010 hanya naik 34% dibanding 2009 yang hanya sebesar US$ 15,69 miliar. Itu berarti, perdagangan Indonesia-China pada tahun lalu mengalami defisit hampir US$ 5 miliar.[74]

Produk impor dari China yang mendominasi pasar di dalam negeri adalah mainan anak dengan menguasai 73% dari total impor negara pengekspor lainnya. Posisi kedua ditempati produk mebel China dengan menguasai 54%. Lantas produk elektronika menguasai 36%, tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar 33% dan permesinan sebesar 22%. Beberapa sektor industri seperti mebel, logam dan barang logam, mainan anak serta TPT cenderung mengalami peningkatan impor setiap bulannya sepanjang 2010. [75]

Fakta penting lainnya, dari Survei Kementerian Perindustrian pada Maret 2011 terbukti bahwa industri elektronika dan TPT khususnya garmen, memiliki korelasi kuat terhadap dampak yang ditimbulkan dari perjanjian C-AFTA ini. Kedua industri ini terbukti kuat mengalami peningkatan impor bahan baku, penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja. "Setelah pelaksanaan C-AFTA, rata-rata industri telah memangkas produksi sekitar 25%-50% sehingga penjualan pun melorot sekitar 25%. Sehingga banyak produsen yang beralih menjadi penjual, seperti pengusaha di sektor permesinan," seperti yang dipaparkan oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat. [76]

Hal di atas selaras dengan pendapat Hikmahanto yang menyatakan bahwa keberadaan AFTA merugikan Indonesia. Lonjakan nilai impor Indonesia dari Malaysia disinyalir merupakan dampak negatif dari ASEAN Free Trade Area (AFTA). Keberadaan AFTA yang seharusnya bisa meningkatkan perdagangan antara negara-negara ASEAN, malah merugikan Indonesia. Dampak negatif dari AFTA yaitu AFTA telah dimanfaatkan oleh produsen asing di luar ASEAN daripada produsen yang berasal dari negara-negara ASEAN. keberadaan AFTA selalu diintensifkan oleh negara-negara ASEAN agar terjadi peningkatan perdagangan antar negara ASEAN (intra ASEAN trade). Tapi yang terjadi justru sebaliknya, justru perusahaan asal negara non-ASEAN yang memanfaatkan fasilitas AFTA, termasuk produsen mobil. Hikmahanto menilai, perusahaan yang berasal dari negara di luar ASEAN justru berusaha mengambil keuntungan dari bea masuk ke Indonesia yang murah. Hal ini lebih menguntungkan jika dibandingkan membuka pabrik di Indonesia yang penuh masalah, seperti ketidakpastian hukum, demo buruh, berbagai pungutan baik yang resmi maupun liar. [77]

C.    Implikasi Pemberlakuan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional


Berdasarkan implementasi di atas maka di tariklah suatu alur kerangka dari implikasi pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional khususnya di Indonesia. Di sini akan dibagi ke dalam dua kelompok implikasi yaitu dari segi positif yang ditimbulkan oleh pemberlakuan hukum internasional dan dari segi negatif dilihat dari akibat yang timbul dari pemberlakuan hukum internasional di Indonesia.

1.      Aspek Positif


Berdasarkan contoh implementasi di tiga bidang di atas, yaitu hukum laut, hukum lingkungan dan hukum ekonomi internasional maka dapat diambil beberapa manfaaat positif dari pemberlakuan perjanjian internasiona di Indonesia diantaranya adalah: Hukum internasional dapat menjadi sarana untuk memfasilitasi kepentingan nasional, sebagai contoh melalui perjuangan Indonesia dalam memasukkan ketentuan negara kepulauan pada saat proses pembuatan konvensi UNCLOS 1982 bersama-sama dengan negara kepulauan lainnya, maka akhirnya konsep negara kepulauan diterima secara sah oleh hukum internasional. Hal ini memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia dengan diakuinya Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang luas sehingga menyebabkan wilayah Indonesia menjadi kesatuan antara daratan dan lautannya dan menambah luas wilayah Indonesia secara signifikan.

Untuk hal-hal yang bersifat universal seperti masalah lingkungan, pengaturan perbatasan wilayah laut, keselamatan pelayaran dan lain-lain memerlukan pengaturan secara bersama antar negara-negara di dunia. Keseragamanan dalam pengaturannya di dunia internasional akan lebih memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan dari perjanjian itu dan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya persengketaan antar negara.

Dengan ikut serta dalam perjanjian internasional yang menguntungkan kepentingan dalam negeri, maka akan menambah perangkat hukum di dalam negeri yang akan menjamin kepastian hukum demi terlaksananya perjanjian internasional itu di Indonesia. Perkembangan soft law seperti declaration, guidelines, action plan dll banyak memberikan pengaruh besar bagi perkembangan hukum nasional. Bahkan sebagian besar ketentuan mengenai pemanasan global masih berbentuk soft law.

Di luar negeri, dengan ikut meratifikasi perjanjian internasional terhadap konvensi-konvesi yang populer di masyarakat internasional akan menunjukkan bahwa Indonesia turut serta dalam pergaulan sosial masyarakat internasional serta menunjukkan politik Indonesia yang bebas dan aktif serta mendukung perdamaian dunia. Hal ini akan berpengaruh baik dalam pencitraan serta wibawa Indonesia di mata masyarakat Internasional.

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut telah meletakan hak dan kewajiban pada negara-negara atau badan-badan internasional untuk mengembangkan kehidupan dan peradaban manusia agar menjadi lebih baik. Beberapa peluang telah diberikan misalnya melalui prinsip kerjasama internasional, prinsip pertukaran informasi, prinsip pembagian keuntungan (benefit sharing) dll. Selain itu dengan mengimplementasikan hukum internasional yang relevan di beberapa sektor maka dapat mendorong perkembangan ekonomi, keamanan wilayah dan perlindungan lingkungan di Indonesia.

2.      Aspek Negatif


Hukum internasional sejak pertengahan abad terakhir telah mengalami perkembangan di berbagai arah, sebagai reaksi dari kompleksitas kehidupan di era modern yang bertambah banyak. Sebagaimana telah ditekankan, hukum nasional mencerminkan kondisi dan tradisi budaya dari suatu negara tertentu di mana ia beroperasi. Negara Indonesia berkembang dengan memiliki nilai khusus yang berdasarkan Pancasila yang tertanam dalam nilai - sosial, ekonomi dan politik dan budaya ini tercermin pada kerangka hukum yang dibuat di Indonesia. Hukum internasional juga merupakan salah satu bagian dari produk yang diberlakukan di dalam lingkungan hukum nasional Indonesia. Maka sudah seharusnyalah hukum internasional yang diberlakukan sesuai dengan ideologi yang berlaku di Indonesia.

Patut diingat bahwa dengan terikatnya negara dengan suatu perjanjian internasioanal maka berakibat negara tersebut terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang ada didalamnya serta dapat dikenai sanksi jika melanggar ketentuan umum internasional. Sebagaimana disebutkan oleh Malcom Shaw: “States are, of course, under a general obligation to act in conformity with the rules of International law and will bear responsibility for breaches of it, whether committed by the legislative, executive or judicial organs.”[78]

Hal ini juga mengakibatkan pembatasan terhadap kedaulatan negara mengingat jika peraturan nasional bertentangan dengan peraturan internasional maka peraturan nasional harus dirubah agar sejalan dengan peraturan internasional tersebut. Hal ini sudah terjadi di Indonesia sebagaimana beberapa contoh: semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan dalam WTO maka wajib untuk menyesuaikan hukum nasional mereka dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam WTO, demikian juga dalam hukum lingkungan alasan terakhir Indonesia merevisi Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah agar sesuai dengan amanat hukum internasional dalam masalah lingkungan. Sedemikian kuat kedudukan hukum internasional jika suatu negara telah bersedia menjadi anggota perjanjian sehingga bisa mengesampingkan hukum nasional di negaranya.

Perlu ada suatu pemahaman yang komprehensif mengenai praktik penerapan hukum internasional melalui perjanjian internasional di Indonesia. Dampak politik perjanjian internasional tampaknya kurang diperhatikan pemerintah dalam meratifikasi perjanjian internasional. Salah satu contoh krusialnya adalah ratifikasi keanggotaan Indonesia dalam Word Trade Organization (WTO). Padahal, keterikatan Indonesia dalam keanggotaan WTO akan menyebabkan sistem ekonomi Indonesia akan bergeser ke arah ekonomi yang kapitalis, bukan lagi sistem ekonomi kekeluargaan. Dengan kata lain, Indonesia sebenarnya belum siap untuk meratifikasi kesepakatan WTO ini mengingat kondisi dan konstitusi Indonesia belum siap untuk diubah sesuai dengan isi kesepakatakan internasional tersebut. Hal itulah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran dalam mengimplementasikan suatu perjanjian internasional dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu aspek kepentingan nasional.[79]

Dalam contoh lainnya, saat dilakukannya perjanjian pinjaman dengan Bank Dunia terlihat sikap Indonesia yang lebih mengutamakan perjanjian pinjaman dalam kedudukannya terhadap hukum nasional. Akibatnya, ketentuan dalam perjanjian pinjaman antara Republik Indonesia dan Bank Dunia didahulukan dari ketentuan perundang-undangan nasional Indonesia yang bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman tersebut, maka perjanjian pinjaman antara Republik Indonesia dan Bank Dunia ini yang dimenangkan”.[80]

Demikian juga dalam pemberlakuan C-AFTA terlihat bagaimana dampak dari ikut sertanya Indonesia dalam perjanjian tersebut tidak memberikan keuntungan bagi perekonomian pengusaha-pengusaha di Indonesia. Sehingga perlu sekali dicermati oleh Pemerintah, gagasan-gagasan internasional yang selaras dan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa dapat kita ikuti, namun bagi perjanjian yang tidak memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan Indonesia atau yang tidak selaras dengan ideologi dan falsafah bangasa sebaiknya ditinggalkan.

Adanya ketentuan internasional yang menyampingkan hukum nasional dikhawatirkan akan mengubah peta perundang-undangan nasional menjadi sangat tunduk pada kepentingan internasional. Oleh sebab itu, diperlukan menyelaraskan segala bentuk instrumen hukum internasional, khususnya perjanjian internasional dengan kepentingan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan pembentukan peraturan perundang-undangan harus ditangani secara politik. Dengan kata lain, secara politik disini diisyaratkan perlunya suatu kekuatan pada peringkat nasional yang memiliki otoritas untuk membangun sistem hukum Indonesia. Kenyataan dalam implementasi perjanjian internasional sebagian besar mengabaikan peran perundang-undangan nasional. Hal ini sebagai dampak ke dalam (internal effect) dari suatu perjanjian internasional yang sangat erat kaitannya dengan dampak suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum internasional suatu negara.[81]

Selain itu perlu dikaji intensitas kepentingan negara dalam pertimbangan ratifikasi suatu perjanjian internasional, karena tiap-tiap perjanjian akan membebankan negara kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Terlebih di dalam perjanjian multilateral yang biasanya membebankan iuran bagi tiap-tiap negara pesertanya sehingga akan ada biaya tambahan bagi anggaran negara tiap tahunnya. Jika jumlah perjanjian yang diikuti semakin banyak maka akan berlipat juga pengeluaran yang harus dikeluarkan. Maka harus dipertimbangkan matang-matang kesiapan Indonesia apakah telah mampu untuk menjalankan kewajiban dalam perjanjian internasional tersebut.

BAB IV


KESIMPULAN DAN SARAN


A.    Kesimpulan


Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa implikasi dari pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia memiliki aspek positif dan aspek negatif. Penjabaran dari aspek positif itu antara lain sebagai berikut: Pertama; bahwa melalui hukum internasional, Indonesia dapat memperjuangkan kepentingan nasional agar dapat diterima oleh masyarakat internasional. Kedua; keseragamanan dalam pengaturan di dunia internasional untuk hal-hal yang universal seperti permasalahan lingkungan, pengaturan perbatasan wilayah laut, keselamatan pelayaran dan lain-lain,  akan lebih memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan dari perjanjian internasional dan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya persengketaan antar negara. Ketiga; dengan meratifikasi hukum internasional maka akan menambah khasanah peraturan perundang-undangan Indonesia serta untuk melengkapi peraturan hukum yang berlaku dan untuk menjamin kepastian hukum bagi permasalahann yang berkaitan dengan  lintas batas negara yang belum diatur sebelumnya dalam hukum Indonesia. Keempat; ikut sertanya Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional di luar negeri, akan menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab terhadap masalah global dan akan meningkatkan martabat dan wibawa Indonesia di masyarakat internasional.

Disisi lain terdapat juga aspek negatif dari hukum internasional di Indonesia, diantaranya: Pertama; mengakibatkan pembatasan terhadap kedaulatan negara mengingat jika peraturan nasional bertentangan dengan peraturan internasional yang telah diratifikasi maka peraturan nasional harus dirubah agar sejalan dengan peraturan internasional. Kedua; jika tidak dipertimbangkan secara matang maka keikutsertaan Indonesia dalam suatu perjanjian internasional dapat merugikan bangsa atau berdampak kepada masyarakat, seperti contoh dalam keikutsertaan Indonesia dalam WTO, C-AFTA, AFTA hal ini menimbulkan kerugian bagi pengusaha-pengusaha di Indonesia karena masih belum siap dengan kondisi pasar bebas, serta bergesernya perekonomian Indonesia yang sebelumnya berlandaskan kekeluargaan menjadi perekonomian kapitalis. Ketiga: adanya ketentuan internasional yang menyampingkan hukum nasional dikhawatirkan akan mengubah peta perundang-undangan nasional menjadi sangat tunduk pada kepentingan internasional serta dapat merubah jati diri bangsa Indonesia.

B.     saran


Beberapa saran untuk permasalahan di atas adalah: Pertama, Indonesia harus menetapkan skala prioritas dalam menentukan keikutsertaan dalam suatu perjanjian internasional agar tidak berdampak merugikan pada kedaulatan bangsa Indonesia, Kedua: dalam pemberlakuan hukum internasional perlu dilakukan harmonisasi sehingga nilai-nilai dalam hukum internasional itu sesuai dengan hukum nasional Indonesia. Ketiga; perlu selalu meningkatkan sumber daya manusia yang berwenang dalam urusan perjanjian internasional sehingga memiliki kemampuan yang handal dalam menganalisis setiap perjanjian internasional apakah sesuai dan menguntungkan bagi Indonesia, serta meningkatkan sarana dan prasarana untuk mempermudah implementasi hukum internasional tersebut di lapangan.



[1] Sutoro Eko, Protes Sosial dan Reformasi Politik, www.ireyogya.org/sutoro/protes_sosial_dan_reformasi_politik.pdf diakses tgl. 1 Maret 2010
[2] Sumber dari Sekretariat Negara Republik Indonesia,  http://www.setneg.go.id/index.php?catname=PUU+Ratifikasi&catid=7&tahun=0&Itemid=42&option=com_perundangan&task=&act=, diakses tgl 8 Maret 2010
[5] Romli Atmasasmita, 2008, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, diakses di  www.parlemen.net/site/download.php?docid...pdf, diakses  tgl 8 Maret 2010
[6] Ibid.hlm. 69.
[7] Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 67.
[8] Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 71
[9] Mochtar Kusamaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Bandung: Putra Abardin, hlm.1.
[10] Ibid, hlm.1.
[11] I Wayan Phartiana, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar maju,  hlm.4
[12] Sugeng Istanto, 1998, Hukum internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya ,  hlm.2.
[13] W.J.S. Purwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan. 5. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 955.
[14] A.S. Hornby et al., 1973, The Advance Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2. London: Oxford University Press,  hlm. 1024.
[15] Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, ed. 6. St. Paul:West Publishing, hlm. 1450.
[16] Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:  Liberty, hlm. 122.
[17] Bachsan Mustafa, 1985, Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Remadja karya, hlm. 42.
[19] Bachsan Mustafa, Op.Cit. Hlm. 42.
[20] Guiguo Wang, International Development Law in the Globalized World, Asia Law Review Volume 4, 1 Juni 2007, p. 41-88
[21] Ibid                                                                    
[22] Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm. 5.
[23] Mohammad Burhan Tsani, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Liberty.,hlm.26
[24] Burhan Ashshofa, 2004; Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.57
[25]Maria Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 36
[26] Abdulkadir Muhammad, 2004, hukum dan penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 132.
[27] Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 95
[28] Disadur dari buku DJ Harris, 2004, Cases and Materials on International Law, 6th Ed., London: Sweet & Maxwell, hlm.66-69
[29] Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm.66
[30] Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm. 66.
[31] UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal 3
[32] UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal.4
[33] UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal.6
[34] Sam Suhaidi dalam R. Poerwanto, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, jurnal.budiluhur.ac.id/wp-content/.../trans-v1-n2-artikel1-agust2006.pdf Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, diakses 15 Mei 2010
 
[35] UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal 10
[36] Pan Mohamad Faiz, Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Menjadi Undang-Undang Di Indonesia, http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/01/perjanjian-internasional-2.html, diakses 29 Mei 2010
 
[37] Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4 Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 486
[38] Ibid, hlm. 487
[39] Ibid, hlm. 487
[40] Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusamedia & Nuansa, hlm. 358
[41] Sobar Sutisna dan Sora Lokita, “Politik Perbatasan Indonesia di Laut China Selatan,” paper yang disampaikan  pada Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 4 Maret 2008.
[43] Ross Garnaut dalam Wahyu Yun Santoso dan Andy Omara, Adopting Green Growth Approach for Climate Change in Indonesia, Asia Law Quarterly, Volume 1, No.2 October 2009, hlm. 43
[45] http://rullymesgapati.wordpress.com/2008/12/07/sekilas-tentang-perdagangan-karbon/
[46] http://rullymesgapati.wordpress.com/2008/12/07/sekilas-tentang-perdagangan-karbon/
[47] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Studi Strategi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia (Jakarta: 2001),dalam  website http://www.kyomecha.org/pdf/CDM_Development_in_Indonesia_NEDO_2006-2.pdf, diakses tanggal  23 Agustus 2010
[48] Wahyu Yun santoso dan Andy Omara, ibid.p 43
[49] Ibid, p. 45
[50] Wahyu Yun, hlm. 67
[51] Esty, D.C and Porter, M., “National environment Performamce: an Empirical Analysis of Policy Results and Determinants”, Environment and Development Economic, 2005, Vol. 10, p.391-434 dalam makalah Michael Faure, “Effectiveness of Environmental Law”, Diskusi Panel di Yogyakarta, 23 Maret 2010.
[53] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF, diakses tanggal 20 Juni 2010.
[54] Rafiqul Islam dalam Huala Adolf, ibid
[55] Dikutip dari www.tribun-timur.com denga judul tulisan CAFTA dan Solusi Kontruktif  yang ditulis oleh Maskum, seorang dosen bagian hukum internasional di UNHAS, diakses pada tanggal 1 April 2010
[57] C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, hlm 74.
[58] Huala Adolf. ibid
[59] Huala Adolf, ibid
[60] Guiguo Wang, Globalizing the Rule of Law: From Economic Globalization to Globalizing the rule of law, Asia Law Review, Volume  5, No. 1 June 2008, hlm. 17
[61] Ibid, hlm. 17
[62] WTO, 2003 dalam http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_29-10-04.pdf, diakses tanggal 24 Juli 2010
[63] Tinjauan Sosiologis Terhadap Pemberlakuan C-Afta (China Asean Free Trade Agreement)  Di Indonesia, www.idiysorhazmah.files.wordpress.com/.../tugas-s2-uir ,di akses 3 November 2011.
[64] Eman Suparman, Perjanjian Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan Masyarakat Global, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2E%20Makalah%20Perjanjian%20Internansional.pdf, diakses tanggal 20 September 2011
[66] Achmad Zen Umar Purba, Berbagai Isu Aktual Dalam Pelaksanaan UU Perjanjian Internasional,http://treatyroom.blogspot.com/2009/07/berbagai-isu-aktual-dalam-pelaksanaan. html  diakses 27 Juli 2010
                [67] Isi perjanjian GATT-Putaran Uruguay terbagi dalam 15 kelompok. Empat di antaranya berupa ketentuan baru, yang meliputi: Trade Related Investment Measures (TRIMs), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), World Trade Organization (WTO), dan General Agreement on Trade in Service (GATS). Lihat dalam Final Act of Uruguay Round.
[68] Adi Sulistiyono, Reformasi Hukum Ekonomi di Indonesia, diakses di adisulistiyono.staff.uns.ac.id/files/.../reformasi-hukum-di-idnonesia.doc
[70] http://lipsus.kontan.co.id/v2/C-AFTA/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya ,dalam posting: Dampak C-AFTA: Produk Cina menjadi Raja, Produk Lokal Tak Berdaya, diakses tanggal 5 Novembe 2011.
[71] Ibid.
[72] Ibid.
[73] www.bataviase.co.id  dalam artikel Penolakan Terhadap AFTA Asean-Cina Terus Menguat, diakses pada 3 November 2011.
[74] http://lipsus.kontan.co.id/v2/C-AFTA/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya ,dalam posting: Dampak C-AFTA: Produk Cina menjadi Raja, Produk Lokal Tak Berdaya, diakses tanggal 5 Novembe 2011.
[75] Ibid.
[76] Ibid.                                                                                                                       
[77] Hikmahanto: Keberadaan AFTA merugikan Indonesia, diakses tanggal 2 Desember 2011 sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/12/02/020534/1780677/10/hikmahanto-keberadaan-afta-merugikan-indonesia
 
[78] Malcom N. Shaw, 2003, International Law, Fifth Edition Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 128.[79] Sri Setianingsih Suwardi, “Hukum Pinjaman antara Republik Indonesia dan Bank Dunia serta Penerapannya dalam Hukum Nasional Indonesia”, Hukum dan pembangunan 2 April 1997, hlm. 80
[80] Ibid.
[81] Lilik Mulyadi, Relevansi dan Implementasi Teori Grotius Tentang pembentukan Perjanjian Internasional, sumber:

1 comment:

  1. Hanya modal 10 ribu bisa mendapatkan JUTAAN
    Silahkan kunjungi www.pokerayam.co
    Minimal Deposit 10.000
    Minimal Penarikan dana 25.000
    Dan dapatkan Jackpot Ratusan Juta Rupiah
    Bonus Cashback Turn Over 0,5% Setiap minggu
    Dapat Bermain Pada ANDROID DAN IOS
    Pelayanan 24 jam Tanpa Batas
    Bisa juga hubungi , info :
    BBM : D8E5205A

    ReplyDelete