Oleh:
Evi
Purwanti, S.H., LL.M.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peranan
hukum internasional dalam perkembangan sistem hukum suatu negara mempunyai
fungsi yang cukup penting. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya
kegiatan-kegiatan lintas batas negara sehingga menyebabkan batas-batas
teritorial suatu negara bukanlah suatu hambatan dalam hubungan ekonomi, sosial,
budaya maupun politik yang dilakukan antar individu maupun antar negara. Untuk
mengatur lalu lintas kepentingan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan
internasional yang berfungsi mengatur mengenai tatacara berhubungan satu sama
lain antar negara di dunia.
Adanya
globalisasi lebih memicu perkembangan hukum internasional. Globalisasi membuat
hubungan individu, korporasi dan negara saling berinteraksi lebih jauh, lebih
cepat dan lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Komunikasi dan
teknologi menyebabkan jarak sudah tidak menjadi masalah yang berarti dan saling
ketergantungan antara negara-negara di dunia juga semakin kuat. Perkembangan
hubungan lintas batas ini memerlukan pengaturan secara internasional baik itu
dituangkan melalui perjanjian bilateral maupun multilateral.
Negara mematuhi hukum
internasional karena mempunyai kepentingan dan membutuhkan sosialisasi dalam
masyarakat internasional. Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak
menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan
hubungan antar negara yang diharapkan akan mensejahterakan masyarakat
internasional. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan
kekawatiran karena hukum internasional itu belum tentu sejalan dengan sistem hukum masing-masing negara.
Di lain sisi, pesatnya
perkembangan sistem hukum Indonesia terjadi setelah reformasi
ketatanegaraan yang menghasilkan Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000) , Ketiga (2001) dan Keempat
(2002) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebabkan
gelombang krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan Juli 1997.[1] Adapun tujuan
dari reformasi untuk melakukan perubahan secara besar-besaran di bidang hukum
untuk menjamin agar hukum benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip Negara Hukum, dimana
hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan
sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.
Dengan gerakan reformasi maka menyebabkan perkembangan sistem hukum indonesia
semakin dinamis dan mengikuti arus keinginan masyarakat. Dampak lain adalah
semakin bertambahnya jumlah perjanjian internasional baik itu berupa konvensi
atau perjanjian internasional (treaty) yang diratifikasi
oleh Indonesia. Peningkatan jumlah ratifikasi perjanjian internasional pada era reformasi menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sejak tahun 2000 sampai
dengan 2009 telah diratifikasi 45 hukum internasional yang disahkan menjadi
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. [2]
Berkembangnya
hukum internasional yang diadopsi ke dalam hukum nasional melalui proses
ratifikasi itu tentu memiliki dampak tersendiri bagi sistem hukum nasional
Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk menganalisis mengenai
implikasi pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia.
Dengan mencoba
menelaah akibat-akibat
yang timbul dari pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia baik dari segi positif maupun segi
negatif yang dapat ditimbulkan dari pemberlakuan hukum internasional ke dalam
hukum nasional Indonesia.
Karena cakupan aspek hukum internasional secara
umum masih luas maka peneliti akan membatasi ruang lingkup permasalahan hanya
ditinjau dari aspek hukum internasional dari perjanjian internasional atau “treaty”. Adapun alasan pemilihan
perjanjian internasional sebagai salah satu variabel karena perjanjian internasional
adalah sarana utama yang dipunyai negara untuk memulai dan mengembangkan
hubungan internasional dan merupakan
bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam masyarakat internasional. Dengan
kedudukan perjanjian internasional sebagai instrumen utama dalam hubungan
internasional maka tidak salah untuk memfokuskan penelitian ini pada perjanjian
internasional tersebut.
B.
Rumusan permasalahan
Berdasarkan
latar belakang di atas maka disusun permasalahan sebagai berikut: ”bagaimana implikasi dari pemberlakuan hukum
internasional ke dalam hukum nasional Indonesia?”
C.
Keaslian penelitian
Di sini peneliti akan memaparkan perbedaan
fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap karya tulis lain yang
berkaitan dengan tema yang diangkat dengan tinjauan dari sudut pandang dan
permasalahan yang berbeda. Sebagai contoh karya tulis yang membahas tentang hubungan hukum
internasional dengan hukum nasional antara lain oleh: Romli Atmasasmita yang berjudul “Pengaruh Hukum
Internasional Terhadap Proses Legislasi”.[3] memfokuskan penelitiannya
pada tahapan proses ratifikasi hukum
internasional menjadi hukum nasional. Sedangkan Wisnu Aryo Dewanto membuat
penelitian berjudul “Status Hukum Internasional Dalam
Sistem Hukum Di Indonesia” yang menitik
beratkan pada penerapan teori Dualisme dan Monisme dimana dicapai kesimpulan
bahwa hukum nasional kerkedudukan di atas hukum internasional.[4]
Perbedaan sudut pandang permasalahan penelitian dari
kedua peneliti di atas adalah: dalam penelitian ini yang disorot adalah implikasi yang timbul
dari pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional Indonesia, serta mengkaji sisi
positif dan negatif pengadopsian hukum internasional kedalam hukum nasional
Indonesia.
D.
Manfaat penelitian
manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan
informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan
mengenai implikasi
yang dapat timbul dari pemberlakuan Hukum Internasional kedalam sistem Hukum
Nasional Indonesia.
Dengan menganalisis implikasi yang timbul dari pemberlakuan
hukum internasional ini maka kita dapat menilai seberapa penting kedudukan
hukum internasional di dalam sistem hukum nasional Indonesia dalam fungsinya
untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
E.
Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan diatas,
maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“untuk menganalisis implikasi hukum internasional terhadap sistem
hukum Indonesia. Secara khusus difokuskan pada sinkronisasi aspek hukum
internasional terhadap
hukum nasional Indonesia, menganalisis apakah ada hubungan
yang positif antara intensitas ratifikasi perjanjian internasional dengan
perkembangan sistem hukum Indonesia serta mengkaji sisi positif dan negatif pengadopsian hukum
internasional kedalam hukum nasional Indonesia.”
F.
Tinjauan pustaka
Pembahasan mengenai hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional.merupakan subyek yang menarik
untuk ditelaah. Salah satunya adalah karya
Romli Atmasasmita yang
berjudul “Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi,[5] di dalam Makalah yang disampaikan pada “Seminar Legislasi
Nasional” Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 21 Mei 2008 itu memaparkan
tentang pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam
sistem hukum nasional Indonesia masih memerlukan proses ratifikasi oleh DPR RI.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian
internasional dan merujuk kepada Undang-undang RI No. 37 tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.[6] Departemen Luar Negeri
adalah pelaksana utama dari seluruh proses ratifikasi tersebut sejak negosiasi,
adopsi, penandatanganan, dan ratifikasi, dibantu oleh Kementerian Politik,
Hukum, dan Keamanan atau Kementerian Koordinator lain dan Kementerian terkait.
Betapa pentingnya mempersoalkan dan
mengkaji serta memahami bagaimana pengaruh hukum internasional terhadap
perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia
karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan prinsip “state
sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam
memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Kedua, secara geografis,
ethnografis dan secara kultural telah diakui eksistensi keragaman antara bangsa
tersebut sehingga hambatan implementasi hukum internasional yang telah diakui
oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi) sering terbentur kepada masalah
penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata
yang berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut
berkaitan dengan pengakuan atas hak ekonomi, hak sosial dan hak politik yang
berkembang dalam masyarakat. [7]
Dalam proses negosiasi draft konvensi
internasional merupakan proses yang bersifat krusial dalam perubahan hukum
nasional untuk dapat menentukan perlu tidaknya pemerintah Indonesia ikut
serta menandatangani konvensi setelah diadopsi menjadi bagian dari ketentuan
hukum internasional. Adopsi yang akan disusul dengan penandatanganan suatu
konvensi internasional memerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar
lembaga serta perlu mempertimbangkan masukan DPR RI terutama sepanjang
berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber
daya manusia, ekonomi nasional dan hak asasi manusia.[8]
Proses ratifikasi suatu konvensi
internasional bukan hanya proses persetujuan semata-mata melainkan seharusnya
merupakan forum pertanggungjawaban politis pemerintah dihadapan DPR RI. Pasca
ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU Pengesahan Konvensi
melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi
substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi
dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai sumber hukum nasional yang diakui
di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.
G.
Landasan teori
1.
Aspek Hukum Internasional
Istilah Hukum internasional yang dibahas
dalam penelitian ini mengacu pada hukum internasional publik sehingga dapat
dibedakan dari pengertian hukum perdata internasional. Adapun definisi dari
hukum perdata internasional adalah “Keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi
batas negara.” Dengan perkataan lain merupakan hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata nasional yang berlainan.[9]
Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum
internasional publik sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional)
yang bukan bersifat perdata.’’ Dari uraian di atas maka dapat dilihat persamaan dan perbedaan
antara hukum perdata internasional dengan hukum internasional publik.
Persamaannya bahwa keduanya mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya
terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).
Hukum internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara, sedangkan
hukum perdata internasional antara orang perorangan.[10]
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran
adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang
berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri, yang satu tidak dibawah
kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota
masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum internasional juga dapat didefinisikan
sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu
juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya,
serta mencakup : (a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional
satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan
fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau
negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu
atau individu-individu ; (b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan
dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional.”[11]
Menurut Sugeng Istanto,”hukum internasional
adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat
internasional. Sebagai kumpulan ketentuan hukum, hukum internasional merupakan
bagian dari hukum. Sebagai bagian dari hukum, hukum internasional memenuhi
unsur-unsur yang menetapkan pengertian hukum, yakni kumpulan ketentuan yang
mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya dipertahankan oleh “external power” masyarakat yang bersangkutan.[12]
Aspek hukum internasional dapat kita tinjau
dari beberapa sudut pandang, diantaranya:
1.
Dilihat dari kaidahnya dapat
digolongkan pada hukum internasional umum (universal) dan regional
2.
Dilihat dari sifat hukumnya
dapat digolongkan pada hukum “hard law” dan “soft law.”
3.
Dilihat dari sumber hukumnya
maka dapat digolongkan kepada 4 kategori berdasarkan statuta mahkamah
Internasional Pasal 38.
4.
Dilihat dari cabangnya maka
hukum internasional terbagi menjadi:
a.
Hukum Konsuler
b.
Hukum Diplomatik
c.
Hukum Penerbangan Internasional
d.
Hukum Pidana Internasional
e.
Hukum lingkungan Internasional
f.
Hukum HAM
g.
Hukum Humaniter Internasional
h.
Hukum angkasa Internasional
i.
Hukum Dagang Internasional
j.
Hukum Pertanggungjawaban Negara
k.
Hukum berkenaan dengan use of force
l.
Hukum Laut Internasional
Di lihat dari sifat hukumnya, perangkat
hukum internasional ada yang berbentuk hard laws dan soft law.
Pengertian yang pertama merujuk kepada seperangkat aturan hukum yang memiliki
kekuatan mengikat (legally binding obligation) di mana fungsi
interpretasi juga didelegasikan kepada pihak ketiga (ajudikasi) yang netral. Kontrak atau perjanjian bilateral merupakan ilustrasi
sederhana hard law. Selain itu, ketentuan yang bersifat hard law umumnya
juga dijumpai dalam traktat atau konvensi yang melahirkan regulasi global.
Kaedah hukum ini umumnya berkenaan dengan isu yang dinilai menjadi kepentingan
bersama seluruh masyarakat internasional.
Selain itu, pengelolaan sumber daya
ketentuan hukum internasional banyak juga yang dituangkan dalam bentuk soft
laws. Sebagai suatu soft law, prinsip-prinsip dasar yang terkandung
didalamnya lebih merupakan pedoman kepatutan (directive) yang selayaknya
dipatuhi negara agar kepentingan bersama dapat terpenuhi. Representasi atau
penjabaran hak dan kewajiban dapat terinci atau moderat, namun tidak
menimbulkan obligasi yang mengikat negara pihak. Karena itu, tidak ada
sanksi hukum bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
Sumber hukum internasional dapat
digolongkan kepada 4 kategori berdasarkan statuta mahkamah Internasional Pasal
38; secara harfiah pasal ini sebenarnya menetapkan ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang dapat diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam
melaksanakan fungsinya yakni menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya.
Hal ini nampak dari kalimat pasal tersebut yang berbunyi “the Court, whose
function is to decide in accordance with international law such disputes as are
submitted to it, shall apply:…” yang harus diterapkan oleh Mahkamah
Internasional itu selengkapnya adalah sebagai berikut:
a.“international conventions, whether general or
particular, establishing rules expressly recognized by the contesting
states’;
b. “international custom, as evidence of a general
practice accepted as law”;
c. “the general principles of law recognized by
civilized nations”;
d. “subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified
publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of
rules of law”.
2.
Sistem Hukum Indonesia
Secara sederhana, “sistem” berarti sekelompok
bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan
suatu maksud,[13] atau “Group of things
or part working together in a regular relation.”[14]
Definisi yang kurang lebih sama diberikan oleh Black’s Law Dictionary,
yang mengartikan sistem sebagai “Orderly combination or arrangement, as of
particulars, parts, or elements into a whole; especially such combination
according to some rational principle.”[15]
Sebelum pembahasan mengenai sistem hukum
Indonesia ini, terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian dari “Sistem Hukum”
dan “Hukum Indonesia” itu sendiri. Definisi dari “Sistem Hukum” adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain
dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut
diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas
hukum dan pengertian hukum.[16]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan Hukum
Indonesia adalah hukum positif Indonesia , yaitu hukum yag berlaku pada saat ini di Indonesia, dan kalau dilihat
dari segi bentuknya , ada yang tertulis yang di sebut hukum Undang-Undang dan
yang tidak tertulis yang disebut hukum adat dan hukum kebiasaan.[17] Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus
ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya.
Hukum Nasional di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian
besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[18]
Setelah membahas pengertian dari “Sistem
Hukum” dan “hukum Indonesia” maka dapat disimpulkan penjabaran pengertian dari
“sistem Hukum Indonesia” adalah seperangkat peraturan hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, yang berhubungan satu dengan yang lainnya untuk
mencapai masyarakat Indonesia yang tertib, adil dan damai.[19]
Ideologi
Pancasila
1. Pencerminan
nilai-nilai Pancasila dalam perundang-undangan
a.
Pancasila yang mengandung nilai-nilai kejiwaan
bangsa Indonesia merupakan dasar tertib hukum Indonesia, pedoman dan penunjuk
arah perkembangannya dengan sistem yang terbuka dan adalah batu ujian mengenai
kepatutan dan perundang-undangan.
b.
Dalam menyusun undang-undang, pembentuk
undang-undang perlu dengan tepat menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yang
mendasari ketentuan undang-undang itu. Dengan demikian peraturan-peraturan
hukum merupakan pelaksanaan undang-undang itu tidak boleh mengandung hal-hal
yang bertentangan dengan Pancasila.
c.
Pencerminan nilai-nilai Pancasila di dalam
perundang-undangan merupakan hakekat pembentukan sistem hukum nasional.
2.
Mengenai Sistem Hukum Nasional
a.
Sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan
dan kesadaran hukum rakyat Indonesia .
b.
Landasan hukum nasional ialah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia dalam hubungan internasional
Politik Iuar negeri Indonesia yang
bebas-aktif pada dasarnya berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, utamanya
amanat Pembukaan UUD 1945. Dalarn penjabarannya, pelaksanaan politik Iuar negeri
tersebut mencakup kegiatan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; menolak segala bentuk penjajahan,
penindasan atau pun ketidak-adilan melalui pembangunan bangsa-bangsa, pembinaan
persahabatan dan kerjasama internasional di berbagai forum. baik bilateral, regional maupun multilateral, tanpa membedakan sistem politik atau sistem ekonomi masing-masing
negara.
Pemerintah Republik Indonesia dalam
melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya
untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya diantaranya adalah dengan membuat
suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan
subjek hukum lainnya. Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam
empat kategori, yaitu Ratifikasi (ratification), Aksesi (accesion),
Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval), dan hasil
perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing
(langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Untuk hubungan internasional diperlukan kemampuan agen diplomatik Indonesia di dalam proses
negosiasi suatu draft konvensi. Kemampuan itu sendiri tidak dilahirkan melainkan
dipelajari dan dilaksanakan secara benar. Untuk memahami dengan benar tentang
perjanjian internasional (treaty) dan sejauh manakah peranan Negara di
dalam menyikapi suatu treaty perlu dijelaskan beberapa hal di bawah ini.
Treaty adalah perjanjian antara dua Negara
atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai
suatu objek tertentu. Hukum Perjanjian internasional yang bersumber dari The
Law of the Treaties - United Convention on the Law of the Treaty-UNCLT (1969)
menegaskan harus dipenuhi syarat "pacta sunt servanda" yaitu suatu
perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para pihak dengan
itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.
Cara mengikatkan diri ke dalam suatu
perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut
suatu Negara - "Civil Law system" atau "Common Law
System". Di dalam sistem hukum "Civil Law",
penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi
sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self
implementing legislation). Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum
"Common Law", penandatanganan suatu perjanjian serta merta
merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation).
3.
Teori Hubungan Hukum
Internasional dengan Hukum Nasional
Titik awal dalam memeriksa hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dengan menelaah perbedaan
dan persamaan antara hukum internasional dan hukum nasional. Masyarakat
internasional belum berkembang menjadi sebuah masyarakat dengan semua
karakteristik suatu negara. Hukum internasional adalah sebuah sistem namun
belum termasuk kedalam kategori sistem hukum yang telah maju atau sangat mapan.
Namun, tidak tepat untuk membandingkan masyarakat internasional dengan
masyarakat nasional, karena hukum internasional memiliki karakteristik sendiri.[20]
Jika masyarakat internasional dewasa ini
dibandingkan dengan masyarakat nasional maka hukum internasional berada dalam
tahap primitif, mudah untuk menyadari dari pencapaian perkembangannya,
masyarakat internasional saat ini masih dalam proses evolusi dari tahap dasar
ke tingkat yang lebih maju, dari masyarakat dengan sistem yang belum sempurna
ke tingkat yang lebih matang dan mekanisme yang lebih baik. Masyarakat nasional
dan masyarakat internasional milik kategori yang berbeda. Prinsip-prinsip
dimana kedua masyarakat itu terbentuk dan menjadi ada memiliki perbedaan. Oleh
karena itu, hukum dari kedua masyarakat itu juga berbeda.[21]
Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal
dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional. Monisme dan dualisme. Menurut teori
Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem
hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum
internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan
sumbernya. Subyek hukum internasional adalah negara sedangkan subyek hukum
negara adalah individu. Di samping itu, hukum internasional dikatakan bersumber
pada kehendak bersama atau kesepakatan negara-negara sedang hukum nasional
dikatakan bersumber pada kehendak dan kekuasaan negara.[22]
Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan
superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan
hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada
pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu
negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling
berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu
adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar
negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding
dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional.[23]
BAB II
CARA PENELITIAN
A.
Bahan atau materi Penelitian
Berdasarkan jenisnya penelitian mengenai “Aspek Hukum
Internasional dalam Perkembangan Sistem Hukum Indonesia” ini
merupakan penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan. Metode yang digunakan adalah
penelitian kualitatif. Adapun yang ingin dibahas dalam penelitian kualitatif
adalah ingin mengkaji pemikiran, makna, cara pandang manusia mengenai gejala-gejala
yang menjadi fokus penelitian.[24] Yaitu mengkaji mengenai
fungsi penting pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional
Indonesia.
B.
Alat penelitian
Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis
alat dalam pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi dan wawancara. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan
masing-masing, atau bersama-sama. Apabila jenis data
yang dikumpulkan bersumber dari data sekunder, sebagaimana halnya dalam
penelitian normatif atau kepustakaan maka studi dokumen dipergunakan sebagai
alat pengumpulan data.[25] Untuk
penelitian ini alat yang dipergunakan adalah studi dokumen.
C.
Prosedur penelitian
Bahan hukum yang di analisis dalam penelitian ini
melalui proses pengolahan sebagai berikut:
1.
Pemeriksaan
data (editing)
Yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul
melalui studi pustaka dan dokumen
sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan dan tanpa kesalahan.
2.
Penandaan
data (coding)
Yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh,
baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu
yang menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan
sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan
rekonstruksi serta analisis data.
3.
Penyusunan/sistematisasi
data (constructing/sistematizing)
Yaitu mengelompokkan secara sistematis data yang
sudah diedit dan diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah.[26]
D.
Analisis Data
Pendekatan dan metodologi yang akan digunakan:
1)
Pendekatan
konseptual; yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.[27] Untuk penelitian ini yaitu dengan menganalisis aspek hukum internasional dalam
hubungannnya dengan hukum Nasional dengan menggunakan
teori-teori hukum internasional.
2)
Dengan
melakukan kajian terhadap hukum internasional yang diratifikasi menjadi hukum
nasional dalam perkembangan
sistem hukum Indonesia.
a)
Studi pustaka mengenai ratifikasi
peraturan-peraturan internasional yang telah disahkan menjadi undang-Undang
Negara Indonesia serta menganalisis dampak yang
ditimbulkan dari ratifikasi perjanjian internasional tersebut.
b)
Mengkaji
tahapan-tahapan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional Indonesia berdasarkan undang-Undang Nomor.24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hukum Internasional dan Hukum
Nasional
1. Perjanjian Internasional
Sebelum tahun 1969 perjanjian internasional
diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Masyarakat internasional kemudian
berusaha membuat kodifikasi hukum internasional yang bersumber dari kebiasaan
internasional yang kemudian diwujudkan dalam United Nations Convention on the Law of
the Treaty-UNCLT 1969 atau biasa
disebut Konvensi Wina tahun 1969 yang
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan pandangan baru yang mengatur
perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional masih berlaku bagi
hal-hal yang belum diatur konvensi tersebut.
Terminologi
Perjanjian Internasional
Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian
menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot
kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan
tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam
suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi
perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para
pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
pengertian perjanjian internasional (“treaty”)
secara luas adalah sebagai persetujuan yang digunakan oleh dua negara atau
lebih untuk mengadakan hubungan antar mereka menurut ketentuan hukum
internasional (nomengeneralissmum). Konvensi Wina hanya berlaku bagi “treaty”
antar negara dalam bentuk tertulis (dalam arti sempit). Hukum Perjanjian
internasional yang bersumber dari The Law
of the Treaties - United Nations Convention on the Law of the Treaty-UNCLT
1969 menegaskan harus dipenuhi syarat "pacta sunt servanda"
yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para
pihak dengan itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.
a.
Beberapa istilah
perjanjian antara lain ialah:
1)
“Treaty” dalam arti
sempit, adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri
ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu dan digunakan
untuk menyebut persetujuan resmi mencakup perjanjian yang paling penting dan
sangat formal dalam urutan perjanjian. Contoh:
a)
Space Treaty, 1967
b)
Treaty of Amity and
Coorporation in Southeast Asia, 1976
2)
Konvensi; digunakan untuk
menyebut persetujuan resmi yang multilateral atau persetujuan yang diterima
oleh organ dari suatu organisasi
internasional mencakup perjanjian secara umum
biasanya bersifat law making treaty. Contoh:
a)
Vienna Convention on the Law
of Treties, 1969
b)
Vienna Convention on
Diplomatic Relation, 1961
c)
Vienna Convention on
Consular Relations, 1963
d)
United Nations Convention on
the law of the Sea, 1982
3)
Persetujuan (Agreement); biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah
dari treaty atau konvensi, cakupan materinya lebih kecil dari treaty atau konvensi dan lebih
sering digunakan sebagai perjanjian yang bersifat bilateral dari pada
multilateral, Contoh:
a)
Rescue Agreement, 1968
b)
Moon Agreement, 1980
4)
Piagam (Charter); biasanya digunakan untuk pembentukan suatu
organisasi internasional, contohnya: Charter of the
United Nations, Atlantic Charter
5)
Protokol: digunakan untuk
menyebut persetujuan yang isinya melengkapi suatu konvensi, contohnya:
a)
Protokol Tambahan Konvensi Wina
1961 tentang Nasionalitas Pejabat Diplomatik
b)
Protokol Tambahan Konvensi Wina
1961 tentang Penyelesaian Sengketa
c)
Protokol
Tambahan I dan II Tahun 1977, Konvensi Jenewa 1949
6)
Deklarasi; kadang-kadang
digunakan dalam pengertian yang sama dengan “treaty”. Merupakan perjanjian dan berisikan
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, namun ringkas dan padat, merupakan pernyataan sepihak dan biasanya tidak menentukan cara berlakunya,
contohnya:
a)
Declaration of ASEAN Concord, 1976
b)
Declaration of Zona of Peace,
Freedom and Neutrality, 1971
c)
Declaration of Human Rights, 1948
7) Final act; berisikan
ringkasan laporan sidang yang menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi
yang dihasilkan dalam konferensi. Penandatangan final act hanya merupakan
kesaksian berakhirnya proses pembuatan perjanjian, contoh: Final Act GATT, 1994
8)
Memorandum of Understanding; mengatur
pelaksanaan teknik operasional perjanjian induk, biasanya segera berlaku
setelah penandatanganan.
9)
Modus vivendi; merupakan perjanjian yang
bersifat sementara, akan diganti dengan pengaturan yang tetap dibuat dengan
cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan
b.
Bentuk perjanjian berdasarkan
petugas pelaksananya adalah:
1)
perjanjian internasional antar
kepala negara
2)
perjanjian internasional antar
pemerintah
3)
perjanjian internasional antar
menteri.
c.
Bentuk perjanjian berdasarkan
jumlah pihak:
1)
Perjanjian bilateral
2)
Perjanjian multilateral
Mengikatnya
perjanjian Internasional
Menurut Anzilotti, perjanjian internasional
berdasarkan prinsip “pacta sunt servanda” yaitu negara tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan penjanjian internasional atau merubah ketentuannya tanpa persetujuaan
pihak lawan berjanji melalui saling pengertian yang dengan demikian persetujuan
negara mewajibkan negara itu untuk mentaatinya.[28]
Perjanjian internasional merupakan”res
inter alios acta” yaitu pada prinsipnya perjanjian internasional hanya
mengikat pihak-pihak yang berjanji saja. Agar suatu perjanjian
internasional dapat mengikat, perjanjian itu harus dibuat oleh pihak yang
berwenang dan menurut prosedur yang berlaku. Pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional adalah: [29]
·
negara
·
organisasi internasional yang
memenuhi persyaratan hukum internasional.
Menurut prinsip umum yang berlaku,
perjanjian internasional tidak menimbulkan hak atau pun kewajiban bagi negara
ketiga (“pacta tertiis nec nocent nec prosunt”). Pengecualian terhadap
prinsip itu terjadi antara lain:
a)
Bila pihak-pihak yang berjanji
memberi hak kepada negara ketiga,
b)
Bila perjanjian internasional
bersifat multilateral yang merupakan kodifikasi hukum internasional kebiasaan
yang telah ada.
2.
Tahapan Pengesahan Hukum Internasional di
Indonesia
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan
bahwa “Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu
penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku
dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.
2826/HK/1960 tentang "Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" mencoba
menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Dengan semakin berkembangnya
dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara.
Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja
sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian
internasional. Surat Presiden No. 2826/HK/1960 yang
selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian
internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi sehingga
dibuatlah Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Adapun isi dalam Undang Undang No. 24 Tahun
2000 mengatur tentang:
1.
Ketentuan Umum
2.
Pembuatan Perjanjian
Internasional
3.
Pengesahan Perjanjian
Internasional
4.
Pemberlakuan Perjanjian
Internasional
5.
Penyimpanan Perjanjian
Internasional
6.
Pengakhiran Perjanjian
Internasional
7.
Ketentuan Peralihan
8.
Ketentuan Penutup
Undang-Undang yang baru ini mengatur
tahapan-tahapan dalam pemberlakuan perjanjian internasional, Pemerintah
Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui
cara-cara sebagai berikut:[31]
1.
Penandatangan;
2.
pengesahan;
3.
pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik;
4.
cara-cara lain sebagaimana
disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
Dalam pembuatan perjanjian internasional
subyek-subyek yang dapat menjadi para pihak dengan negara Indonesia berbunyi:[32]
a)
Pemerintah Republik Indonesia
membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan,
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan
itikad baik.
b)
Dalam pembuatan perjanjian
internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan
nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum
internasional yang berlaku.
Proses
Pembentukan Perjanjian Internasional
Proses pembentukan Perjanjian
Internasional, menempuh berbagai tahapan sebagai berikut:[33]
1.
Penjajakan: merupakan tahap
awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan
dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.
Perundingan: merupakan tahap
kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati
dalam perjanjian internasional.
3.
Perumusan Naskah: merupakan
tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.
Penerimaan: merupakan tahap
menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para
pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil
perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua
delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/
approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas
perubahan perjanjian internasional.
5.
Penandatanganan : merupakan
tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah
perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk
perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan
merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/ accession/
acceptance/ approval).
Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
Cara mengikatkan diri ke dalam suatu
perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut
suatu Negara, "Civil Law system" atau "Common Law
System". Di dalam sistem hukum "Civil Law",
penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi
sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self
implementing legislation). Sebaliknya di dalam sistem hukum "Common
Law", penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber
hukum nasional (self-implementing legislation).
Dalam konstitusi negara-negara pada umumnya
untuk membuat suatu perjanjian internasional kewenangannya ada ditangan Badan
Eksekutif. Tetapi ada juga perundang-undangan nasional beberapa negara
menetapkan sebelum pengesahan dilakukan terlebih dahulu diperlukan persetujuan
Badan Legislatif, dan jika persetujuan sudah diperoleh baru kemudian ratifikasi
menjadi tahap terakhir dari prosedur pengikatan diri suatu negara pada suatu
perjanjian internasional.
Pada
pokoknya prosedur ratifikasi ini mencakup dua aspek :[34]
1.
Tindakan legislatif, yaitu umumnya
berbentuk Undang-Undang sehingga dengan diundangkannya perjanjian itu, maka
perjanjian tersebut menjadi mengikat negara dipandang dari segi hukum nasional.
2.
Tindakan eksekutif, yaitu sesudah
perjanjian ditandatangani oleh kekuasaan eksekutif, kemudian perjanjian
disampaikan kepada badan legislatif untuk memperoleh persetujuannya, yang
umumnya berupa undang-undang. Selanjutnya oleh badan eksekutif dibuatlah piagam
ratifikasi, dan prosedur ini baru selesai sesudah diadakan pertukaran piagam ratifikasi.
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat
kategori, yaitu:
1.
Ratifikasi (ratification),
yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut
menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.
Aksesi (accesion), yaitu
apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut
menandatangani naskah perjanjian;
3.
Penerimaan (acceptance)
atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui
dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut;
4.
Selain itu juga ada
perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing
langsung berlaku pada saat penandatanganan.
Dalam suatu pengesahan perjanjian
internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat
diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut.
Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk
dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum
perjanjian tersebut disahkan.
Pengesahan perjanjian internasional
dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:[35]
1.
masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara;
2.
perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara;
3.
kedaulatan atau hak berdaulat
negara;
4.
hak asasi manusia dan
lingkungan hidup;
5.
pembentukan kaidah hukum baru;
6.
pinjaman dan/atau hibah luar
negeri.
Perjanjian internasional yang tidak
mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang
bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk.
Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah
penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau
melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian
yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial,
budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama
antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat
para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian
tersebut.[36]
3.
Pemberlakuan Hukum
Internasional ke dalam Hukum Nasional
Mengenai pemberlakuan Hukum Internasional
ke dalam Hukum Nasional telah dipaparkan ajaran-ajaran tentang kesatuan hukum
internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentang perbedaan dan
pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akan tetapi ajaran
tersebut tidak menjelaskan jawaban langsung atas pertanyaan yang dihadapi dalam
dunia “Hukum yang berlaku” (hukum positif). Hal yang diperlukan adalah untuk
memberi jawaban terhadap penetapan, atau “pilihan”, yang dibuat oleh hukum
nasional tentang kedudukan dan peranan hukum internasional, khususnya dalam
perjanjian internasional. pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui
suatu tindakan hukum tegas dari tata hukum nasional yang bersangkutan yang
termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana hukum
nasional ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam
bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan
konkrit, misalnya keputusan-keputusan hakim.[37]
Tata hukum nasional dapat saja menyangkal
mutlak segala peranan dan pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional,
dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang
berwenang mengadakan peraturan-peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur
hukum dilingkungan nasionalnya. Sebaliknya, tata hukum nasional dapat juga pada
asasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat
diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi hukum internasional
berlaku dilingkungan hukum nasional tanpa merubah sifat internasionalnya, atau
dengan mengundangkan isi tersebut sebagai hukum nasional dalam bentuk
perundang-undangan hukum nasional pula.[38]
Perbandingan antara sistem-sistem hukum
nasional menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara
pertama tadi. Jalan yang satu ialah dengan cara “membuka pintu” bagi hukum
internasional, yang berakibat hukum internasional itu berlaku dilingkungan hukum
nasional, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu
terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai hukum internasional tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan hukum
internasional yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law
yang menggolongkan hukum internasional tak tertulis ini sebagai “law of the
land”. Jalan lain yang perlu
ditempuh apabila tata hukum nasional, sekalipun yakin akan perlunya penerapan
isi hukum internasional dilingkungan hukum nasional, menganggap perlu adanya
suatu tindakan hukum nasional tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan
dalam UUD atau perundangan biasa. Dalam hal perjanjian internasional UU
persetujuannya (yang dipraktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”)
kadang dipakai untuk keperluan itu. [39]
Sebagai alternatif kedua cara “pemberian
izin” kepada hukum internasional tersebut kita kenal kebijakan menolak secara
mutlak keberlakuan hukum internasional dalam tata hukum nasional. Dalam rangka
ini, pemberlakuan isi hukum internasional dilingkungan hukum nasional
memerlukan pembuatan hukum nasional yang tegas memuat ataupun setidaknya tegas
mengundangkan isi hukum internasional bersangkutan sebagai hukum nasional
(transformasi).
B.
Implementasi hukum
internasional di Indonesia
Dalam penerapan hukum internasional,
Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu
perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan
ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Terkadang perjanjian internasional yang
telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk
dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut.
Hukum internasional mewajibkan dan memberi
wewenang kepada negara-negara. Ia mewajibkan negara-negara untuk berperilaku
dengan cara tertentu dengan melekatkan “sanksi” (tindakan pembalasan atau
perang) kepada perilaku yang sebaliknya; dengan cara ini hukum internasional
melarang perilaku ini sebagai pelanggaran dan menganjurkan perilaku yang
sebaliknya.[40] Di bawah ini akan
dipaparkan beberapa implementasi hukum internasional dalam bidang Hukum Laut,
Hukum Lingkungan dan hukum ekonomi
1.
Implementasi Hukum Laut
Internasional di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah aktif dalam
berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958 khususnya dalam
Konferensi Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia telah
menandatangani hasil konferensi tersebut yaitu Konvensi mengenai Landas
Kontinen (Convention on the Continental Shelf), Konvensi mengenai
Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas (Convention of Fishing and
Conservation of the Living Resources of the High Seas), serta Konvensi
mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea). Sedangkan
Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun kemudian
konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 19 Tahun
1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum
Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak ditandatangani
dan diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal ini dikarenakan
bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam Deklarasi Juanda yang menyatakan
wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak
12 mil dari pantai namun bukan merupakan satu kesatuan dalam hal wilayah yang
dimiliki secara khusus seperti Deklarasi Juanda.
Lahirnya deklarasi Djuanda karena Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas membentang diantara
pulau-pulau sebagai penghubungnya. Pada
awalnya Indonesia menggunakan konsep penarikan garis pangkal lurus dan garis
pangkal normal sejauh 3 mil laut sehingga ada bagian “laut dalam” di antara
pulau-pulau di Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas berdasarkan Kringen Ordonantie 1933 yang menyatakan
masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil. Akibat dari adanya laut bebas di antara
pulau-pulau Indonesia maka kapal-kapal asing dapat dengan bebas berlayar
melintasi lautan tersebut. Hal ini berdampak pada kerawanan keamanan dan
ketahanan Bangsa. Untuk mengatasi hal tersebut maka
dibuatlah suatu konsep yang baru. Pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda konsep "Negara Kepulauan" dicetuskan, Indonesia menyebutnya
sebagai “Wawasan Nusantara” yang menetapkan bahwa laut wilayah Indonesia
mencakup kedaulatan di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Nusantara.
Wawasan Nusantara kemudian dituangkan ke
dalam Undang-Undang Perpu No. 4 Tahun. 1960 tentang Perairan Indonesia yang
pada intinya menyatukan perairan Indonesia menjadi satu kesatuan meskipun pada
saat itu bertentangan dengan konsep hukum internasional yang belum mengakui
adanya perairan kepulauan. Undang-Undang Perpu Nomor.4 tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia mempunyai peranan penting. Undang-undang ini lahir sebagai bentuk legalisasi terhadap Deklarasi Djuanda tahun 1957.
Selain
sebagai bentuk legalisasi, Undang-undang ini dapat juga disebut sebagai Politik Kewilayahan NKRI yang pertama.[41]
Konsep negara kepulauan tersebut kemudian
dipromosikan serta diperjuangkan dalam sidang-sidang persiapan Konferensi hukum
laut oleh negara-negara kepulauan seperti Fiji, Indonesia, Philipina, dll. Produk hukum dan politik yang lahir
murni dari konsep wawasan nusantara ini pada masa itu masih dianggap sebagai hukum yang tidak sejalan dengan hukum
internasional. Namun, melalui politik
diplomasi dengan negara-negara tetangga serta negara kepulauan lainnya perjuangan pengakuan wawasan nusantara mernbuahkan hasil dengan disepakatinya konsep
negara kepulauan
di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Konvensi ini mulai
berlaku pada tanggal 16 November 1994 setelah memenuhi syarat ratifikasi
(minimal 60 negara meratifikasi) sehingga dapat diberlakukan.
UNCLOS 1982 memasukkan negara kepulauan (“archipelagic
state”) sebagai konsep hukum internasional. Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah
perjuangan Indonesia dalam menjadikan Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari
negara kepulauan Indonesia. Dengan
konsep ini maka semua “laut dalam” di antara
pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dihitung lagi
sebagai laut bebas tetapi sebagai perairan kepulauan yang termasuk sebagai laut
teritorial Negara
kepulauan Indonesia. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).
Uniknya kedudukan hukum laut di Indonesia
ini, setelah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985 tidak serta merta
menggantikan Undang-Undang Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia,
sehingga pada saat yang bersamaan berlaku Undang-Undang ratifikasi UNCLOS dan berlaku
juga Undang-Undang Perpu No. 4 Tahun 1960. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
meratifikasi perjanjian internasional tidak serta merta menyebabkan peraturan
ratifikasi tersebut langsung berlaku menjadi hukum nasional Indonesia
Bukti lain
yang menunjukkan bahwa undang-undang ratifikasi tidak serta merta menjadi hukum
nasional adalah bahwa sampai sekarang Indonesia masih belum memiliki Zona
Tambahan yaitu suatu zona dari laut lepas yang bersambungan dengan laut
teritorial dimana negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang dibutuhkan
untuk mencegah pelanggaran atas perundang-undangannya yang berkenaan dengan Bea Cukai (Customs), Perpajakan (Fiscal), Keimigrasian (Immigration)
dan kesehatan (sanitary). Dalam UNCLOS 1982 dinyatakan
dalam pasal 33 ayat (2) lebar dari zona tambahan tersebut tidak lebih dari 24
mil laut diukur dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial diukur. Jika
perjanjian yang telah diratifikasi berlaku juga sebagai hukum nasional maka
asumsinya dengan meratifikasi UNCLOS 1982 Indonesia seharusnya telah secara
langsung memiliki Zona Tambahan.
Adapun beberapa peraturan laut
internasional lainnya yang disahkan oleh Indonesia antara lain:
NAMA PERJANJIAN INTERNASIONAL
|
PENGESAHAN
|
MASALAH YANG DIATUR
|
Convention on the Continental Shelf 1958, Convention
on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958,
Convention on the High Seas 1958
|
Undang-undang No. 19 /1961 Tgl. 6
September 1961
|
Pengaturan Landas Kontinen, Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi Laut Lepas
|
Convention on the International Regulation for
Preventing Collision at Sea 1960
|
KEPPRES No. 107/1968
D I C A B U T
|
Pengaturan mengenai pencegahan kecelaka-an/tubrukan
kapal di laut.
|
International Convention on Load Lines 1966
|
KEPPRES No. 47/1976 Tgl. 2 November 1976
|
Pengaturan Mengenai Jalur Pelayaran
|
Convetion on the International Regulation for
Preventing Collisions at Sea 1972
|
KEPPRES No. 50/1979 Tgl. 11 Oktober 1979
|
Penyempurnaan Convention 1960 tentang pencegahan tubrukan
kapal di laut
|
International Convention for Safe Containers 1972
|
KEPPRES No. 33/198917 Juli 1989
|
Pengaturan Mengenai Keselamatan dan Sertifikasi Peti
Kemas
|
International Convention for the Safety of Life at
Sea 1974
|
KEPPRES No. 65/1980 Tgl. 9 Desember 1980
|
Pengaturan Mengenai Keselamatan di Laut
|
Protocol of 1978 Relating to the International
Convention for the Safety of Life at Sea 1974
|
KEPPRES No. 21/1988 Tgl. 29 Juni 1988
|
Protokol Mengenai Keselamatan di Laut.
|
International Convention on Standards of Training,
Certification & Watch Keeping for Seafarers, 1978
|
KEPPRES No. 60/1986 Tgl. 4 Desember 1986
|
Pengaturan Mengenai Standard Pelatihan, Sertifikasi
dan Pengamatan Bagi Pelaut
|
Agreement on the Organization for Indian Ocean
Marine Affairs Cooperation (IOMAC) 1990
|
KEPPRES No. 86/1993 Tgl. 16 September 1993
|
Pengaturan mengenai kerjasama kelautan di Samudera
Hindia
|
Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1987
Tentang Pengesahan Agreement For The Establishment Of The Intergovernmental
Organization For Marketing Information And Technical Advisory Service For
Fishery Product In The Asia Pacific Region (Infofish)
|
UU Nomor 1 Tahun 2001
|
Pengaturan mengenai pencabutan persetujuan infofish
|
Pengesahan Agreement For The Establishment Of The
Indian Ocean Tuna Commission
|
UU Nomor 9 Tahun 2007
|
Persetujuan Tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera
Hindia
|
Agreement Between The Government Of The Republic Of
Indonesia And The Government Of The Socialist Republic Of Vietnam Concerning
The Delimitation Of The Continental Shelf Boundary, 2003
|
UU Nomor 18 tahun 2007
|
Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik
Indonesia Dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam Tentang Penetapan Batas
Landas Kontinen, 2003
|
Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising
The Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958
|
UU Nomor 1 tahun 2008
|
Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958
|
Sumber: Pramudianto, A, 1993,
Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup, dan dari
http://www.setneg.go.id/
Berdasarkan tabel di atas maka dapat
dilihat bahwa untuk pengaturan hal-hal yang bersifat penting seperti pengaturan
mengenai masalah perbatasan dan keikutsertaan dalam kerjasama internasional
maka peraturan tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sedangkan untuk
pengaturan teknis maupun standarisasi keselamatan di laut banyak dituangkan
dalam bentuk Keppres.
Akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang mencabut
Undang-Undang Perpu No.4 Tahun 1960. Dengan pergantian Undang-Undang ini sempat
menimbulkan kondisi dimana Indonesia tidak memiliki titik pangkal dan garis pangkal kepulauan
sebagai fondasi pagar batas maritim NKRI. Pada 16 Juni 1998, Pemerintah mengeluarkan PP
No.61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia di sekitar perairan Natuna. Peraturan Pemerintah ini akhirnya diintegrasikan kedalam PP
No.38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Namun daftar koordinat tersebut direvisi kembali terkait harus diubahnya titik dasar kepulauan
Indonesia yang ada di Laut Sulawesi, pasca putusan Mahkamah Internasional
terkait Pulau Sipadan Ligitan dan juga penambahan beberapa titik pangkal di
sekitar Pulau Timor. Terakhir Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia
Dalam kaitan pentingnya pemberlakuan hukum
laut inernasional ke dalam hukum nasional Indonesia hal ini menunjukkan
beberapa hal, yaitu:
1.
UNCLOS 1982 khususnya dalam
pengaturan mengenai negara kepulauan merupakan wadah dari aspirasi nasional
Indonesia, sehingga di sini dapat disimpulkan bahwa konsep hukum nasional suatu
negara dapat menjadi bagian dari hukum internasional jika negara-negara lain
mau mengakuinya secara formal.
2.
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dikelilingi oleh laut yang luas, sehingga pengaturan yang
berkaitan dengan kelautan merupakan suatu hal yang penting untuk Indonesia demi
menjaga keamanan dan melestarikan kekayaan laut Indonesia.
3.
Pemberlakuan hukum
internasional ke dalam hukum nasional merupakan proses untuk mengesahkan suatu
peraturan sehingga merupakan suatu pernyataan bahwa Indonesia telah terikat
dengan perjanjian internasional tersebut (consent
to be bound). Dalam hal ini, dengan meratifikasi UNCLOS 1982 maka menjadi
dasar hukum dari Undang-Undang Nomor.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dalam
pengaturan laut negara kepulauan.
4.
Pentingnya pengaturan standar
keselamatan pelayaran di laut menyebabkan urgennya hukum laut internasional
untuk diberlakukan ke dalam hukum nasional karena menyangkut keselamatan dan
keamanan pelayaran dan awak kapal di perairan nasional.
2.
Implementasi Hukum lingkungan
internasional di Indonesia
Dewasa
ini persoalan kemerosotan kualitas lingkungan
tidak hanya menjadi masalah nasional suatu
negara, melainkan juga masalah internasional. Dalam banyak hal, persoalan lingkungan, terutama persoalan pencemaran. bersifat transboundary. Hal ini berkaitan dengan adagium ”pollution
knows no boundary” dimana pencemaran lingkungan tidak mengenal batas-batas
suatu negara. Satu pencemaran lingkungan dampaknya dapat terjadi hanya pada
satu negara, mengenai dua negara atau beberapa negara bahkan untuk kasus
pemanasan global dampak yang dirasakan telah mendunia. Berdasarkan
kondisi tersebut di atas, maka hukum lingkungan
internasional menjadi urgen untuk mengatasi persoalan lingkungan.
kesepakatan yang
muncul dalam praktek internasional menetapkan bahwa pembangunan harus
memperhatikan akibat ekologis dari negara yang sedang berkembang, bahwa
pengelolaan yang tepat atas sumber kekayaan alam sangat penting dalam negara
yang sedang berkembang, bahwa akselerasi pembangunan di negara yang sedang
berkembang dapat meningkatkan kemampuannya untuk memperbaiki lingkungannya.
Hingga saat ini telah diadakan beberapa
konferensi yang sangat penting mengenai lingkungan hidup yaitu di Stockhom
(1972), Nairobi (1982), Rio De Janerio (1992), New York (1997) dan Johanesburg
(2002). Beberapa dari pertemuan tersebut telah menghasilkan dokumen-dokumen
penting baik yang bersifat hard law (legally binding) maupun soft law (non legally binding). Hasil dari Konferensi Lingkungan Hidup
Manusia (United Nations Conference on
human Environment/UNCHE) yang diadakan di Stockholm, Swedia salah satunya
menghasilkan Deklarasi Stockholm 1972.[42]
Dalam “Declaration of the United Nations
Conference on the Human Environment” terdapat 26 prinsip tentang perbuatan
internasional dan nasional di bidang lingkungan. Di antara prinsip-prinsip itu
terdapat tiga prinsip hukum lingkungan internasional, yakni:
1.
negara mempunyai hak kedaulatan
untuk mengeksploitasi sumber-sumbernya sendiri sesuai dengan kebijakan
lingkungannya;
2.
negara bertanggungjawab untuk
menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dalam wilayah yurisdiksi atau pengawasannya
tidak menyebabkan kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan wilayah
di luar batas yurisdiksi nasionalnya.
3.
negara berkewajiban untuk
bekerja sama mengembangkan lebih lanjut hukum internasional yang mengatur
pertanggungjawaban dan kompensasi bagi korban polusi dan kerugian lingkungan
lain yang disebabkan oleh kegiatan sejenis pada wilayah di luar yurisdiksi
nasionalnya.
KTT Bumi tahun 1992 di Rio De Janerio,
Brazil atau disebut United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) telah sepakat
menghasilkan dokumen-dokumen seperti Deklarasi Rio, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC), Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Kehutanan.
Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang juga merasakan dampak dari perubahan iklim di dunia. Indonesia
merupakan negara yang beresiko tinggi terhadap dampak pemanasan global karena
menurut ilmu pengetahuan mengindikasikan daerah tropis akan mengalami lebih
banyak dampak di bidang agrikultur daripada negara-negara di daerah lainnya.
Karang-karang dan perikanan juga akan mengalami dampak buruk perubahan iklim.
Masyarakat yang tinggal di daerah tropis yang hidup di lingkungan temperatur di
atas rata-rata daerah lain, akan sulit untuk beradaptasi dengan temperatur yang
semakin memanas. Hal lain, sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai
garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut. Naiknya
permukaan air laut akan memberikan dampak lebih merusak kepada kota-kota yang
posisinya rendah dari air laut seperti kota Jakarta dan Surabaya.[43]
Selain itu, Indonesia mempunyai peranan
strategis dalam struktur iklim geografi dunia karena sebagai negara tropis
ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar di dunia dan negara
kepulauan yang memiliki laut yang luas mempunyai fungsi sebagai penyerap gas
rumah kaca yang besar. dengan struktur geografi di atas Indonesia
memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Dengan
politik luar negeri yang berdasarkan bebas dan aktif Indonesia perlu ikut aktif
mengambil bagian bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional lainnya
dalam upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Pada tahun 1997 UNFCCC mengadakan
konferensi yang dikenal dunia dengan Protokol Kyoto. Konferensi ini membahas
mengenai usaha-usaha untuk mengurangi pemanasan global, terutama terkait dengan
emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia, atas anjuran Komnas Perubahan
Iklim, ikut serta menandatangai protokol ini pada tahun 1997. Protokol Kyoto
sendiri dinyatakan akan berlaku jika negara yang ikut serta dalam pengesahan
berjumlah 55 negara. Maka, pada saat Rusia ikut mengesahkan protokol ini pada
16 Februari 2005, dan menjadi negara yang ke-55, pada saat inilah protokol ini
dapat mengikat negara–negara anggotanya untuk tunduk pada aturan yang telah
ditetapkan. Protokol ini efektif mewajibkan anggotanya untuk mematuhi peraturan
mengenai pengurangan emisi karbon mulai tahun 2006-2012, selanjutnya akan
dilakukan ratifikasi ulang untuk meninjau apakah perjanjian ini bisa
dilangsungkan lagi dalam waktu yang lebih lama.[44]
Secara sederhana, laju emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, bisa
diturunkan dengan cara membeli kredit karbon atau membayar proyek yang
mengurangi, menetralisir atau menyerap emisi gas rumah kaca, melalui lembaran
sertifikat semacam surat berharga yang beredar di pasar karbon. Karbon di sini
merujuk kepada enam gas rumah kaca yang dianggap mempunyai peran besar dalam
pemanasan global, yaitu karbondioksida (CO), methana (CH4), nitrogen oksida
(NO), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur hexaflourida
(SF6).[45]
Protokol Kyoto membagi anggotanya ke dalam
2 (dua) golongan yaitu Negara Annex I, yang merupakan negara industri maju dan
Negara Non-Annex I yang merupakan negara berkembang atau miskin. Negara Annex I
wajib mengurangi emisi karbon secara bertahap. Negara Non-Annex I tidak wajib
melakukan hal ini, tetapi dapat berpartisipasi secara sukarela untuk ikut mengurangi
emisi karbon di dunia. Negara Annex I dapat mengurangi emisi karbonnya dengan
berbagai cara termasuk membeli sertifikasi pengurangan karbon dari pasar karbon
yang dibagi menjadi 3 jenis pasar yaitu:
1.
Emission Trading (ET),
2.
Joint Implementation (JI),
3.
Clean Development Mechanism (CDM).
ET adalah sistem transaksi yang mengizinkan
negara Annex I untuk saling membeli atau menjual kredit karbon untuk memenuhi
kewajibannya. Joint Implementation (JI) mengizinkan negara Annex I untuk
memperoleh kredit karbon melalui proyek–proyek yang menurunkan emisi gas rumah
kaca bersama dengan negara Annex I lainnya. CDM sendiri adalah transaksi
berbasiskan proyek yang dilakukan negara Annex I di negara miskin/berkembang.
Setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon akan dinilai
dengan satu Certified Emissions
Reductions (CER). Sertifikat ini dapat dijual dalam pasar primary CDM maupun dijual kembali dalam
pasar secondary CDM.
Sebagai salah satu negara yang peduli
terhadap isu global ini maka Indonesia ikut serta meratifikasi UNFCCC pada 23
Agustus 1994, melalui Undang-Undang. No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Sebagai
tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam UNFCCC, Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) mendirikan Komisi Nasional (Komnas) Perubahan Iklim yang disahkan
melalui Keputusan Menteri (Kepmen) melalui Kepmen No. 53 Tahun 2003. Komnas ini
bertugas untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang
terkait dengan antisipasi perubahan iklim. Dalam hal ini, Komnas Perubahan
Iklim juga mendukung usaha-usaha pemerintah untuk mengikuti even-even
internasional yang terkait dengan usaha-usaha untuk mengurangi dan memerangi
perubahan iklim dunia.[46]
Sebagai negara yang sedang membangun,
Indonesia juga perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya
yang rendah emisi melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta
pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy).Di
samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk
menyerap gas rumah kaca. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan
dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development
Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto.
Pada tahun
2001, Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia melakukan penelitian tentang
CDM yang berjudul Studi Strategi Nasional CDM di Sektor Energi Indonesia (National
Strategy Study-NSS),
yang menilai potensi CDM dan implementasinya dalam sektor non LULUCF (Land Use, Land Use–Change and Forestry). Menurut laporan NSS,
Indonesia memiliki potensi saham 2% dari CDM pasar global dengan total volume
125-300.000.000 ton. Profit potensial
yang bisa didapatkan Indonesia dari hasil penjualan Certified Emission Reduction (CER)
adalah sebesar 1,5- sampai 5/t CO, pendapatan potensial antara 187,5 s/d 1.650
juta US $, yang terdiri dari biaya sebesar 106 s/d 309 juta US $ dan keuntungan
sebesar 81,5 s/d 1.260 juta US $.[47]
Berdasarkan data di atas maka keuntungan
potensial dari CDM cukup menjanjikan sehingga perlu untuk ditindaklanjuti
secara lebih intensif. Maka untuk mewujudkan hal itu Indonesia meratifikasi
Kyoto Protocol melalui Undang-Undang No.17 Tahun 2004. Indonesia juga
mengesahkan pembentukan komisi nasional mekanisme pembangunan bersih menjabat
sebagai otoritas nasional yang ditunjuk, melalui Keputusan Menteri lingkungan
No 206/2005. Keputusan itu disahkan pada tanggal 21 Juli 2005 sebagai bentuk
pelaksanaan teknis dari CDM.[48]
Dalam menunjang rezim perubahan iklim,
Indonesia telah mengembangkan strategi pembangunan nasional untuk mengatasi
perubahan iklim, yang terdiri dari:[49]
1.
tiga tingkatan strategi yaitu
Pro-rakyat miskin, pro-job, dan Pro-growth policies. Implementasi dari
kebijakan tersebut dengan menekankan prinsip Pro- Lingkungan, seperti precautionary principle, polluter pays principle dan preventive principle.
2.
Agenda mitigasi yang
memfokuskan pada kegunaan utama dari program pembangunan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi harus secara jelas mengacu pada target pengurangan gas
rumah kaca dan efisiensi energi.
3.
agenda
adaptasi yang mengembangkan rencana pertumbuhan yang tahan terhadap dampak
perubahan iklim saat ini dan mengantisipasi dampak masa depan
banyak keuntungan dari
penggunaan CDM dari Kyoto Protokol dalam kerangka kerja PBB untuk mengatasi
perubahan iklim dalam mensuport dana dari proyek infrastruktur dalam skala
besar yang secara potensial dapat
menghasilkan sertifikasi emisi secara signifikan.[50]
Pentingnya regulasi hukum lingkungan
internasional dapat dilihat dari hasil penelitian Dan Esty dan Michael Porter
yang menguji secara empiris pengaruh regulasi lingkungan suatu negara terhadap
kualitas lingkungan. Hasil dari penelitian ini berdasarkan analisis intensitas
regulasi dan kualitas lingkungan di banyak negara maju dan negara berkembang,
menyatakan bahwa perkembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan berjalan
seiring dengan peningkatan institusi negara dan secara lebih khusus melalui
regulasi-regulasi lingkungan. Bukti empiris menyatakan bahwa negara mendapat
keuntungan (benefit) di bidang
lingkungan tidak hanya dari pertumbuhan ekonomi, namun secara seimbang juga
dari perkembangan peraturan hukum dan penguatan struktur pemerintahan. [51]
Jika di lihat dari hasil penelitian Esti
dan Porter di atas maka jika Indonesia mengimplementasikan hukum lingkungan
internasional ke dalam hukum nasional maka hal itu akan menambah perkembangan
peraturan hukum nasional, sejalan dengan itu jika pelaksanaan peraturan
lingkungan itu berjalan efektif maka diharapkan akan mendapatkan hasil seperti
yang telah dibuktikan oleh Esti dan Porter yaitu perkembangan ekonomi dan
perlindungan lingkungan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan pentingnya peranan hukum lingkungan internasional dalam hukum
nasional indonesia dengan beberapa alasan:
a. Di
dalam negeri, akan menambah lagi perangkat hukum yang lebih menjamin kepastian
hukum atas terselenggaranya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Ketentuan-ketentuannya akan menjadi bagian dari hukum nasional
yang mengatur masalah iklim dan lingkungan.
b.
Di luar negeri, akan menunjukkan
bahwa Indonesia turut bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan global,
khususnya pada masalah perubahan iklim bumi yang dampaknya akan menimbulkan
keprihatinan bersama umat manusia.
c.
Dengan mengimplementasikan
hukum lingkungan internasional maka dapat mendorong perkembangan ekonomi dan
perlindungan lingkungan di Indonesia.
d.
Adanya alih teknologi dan
pertukaran komunikasi dalam proses CDM akan mempercepat kemajuan bangsa
Indonesia dalam bidang industri.
3. Implementasi Hukum Ekonomi Internasional di
Indonesia
Definisi ekonomi internasional adalah ilmu ekonomi yang membahas akibat saling ketergantungan
antara negara-negara di dunia, baik dari segi perdagangan
internasional maupun pasar kredit internasional. Sumber energi Amerika
Serikat, misalnya, sangat bergantung pada produsen luar negeri,
sedangkan Jepang mengimpor hampir setengah dari makanan yang di
konsumsi oleh penduduknya. Sebaliknya, negara-negara berkembang sangat
membutukan teknologi yang dikembangkan dan dihasilkan oleh negara-negara
industri. Dalam jangka panjang, pola perdagangan internasional ditentukan oleh
prinsip-prinsip keunggulan komparatif.[52]
Dalam hukum ekonomi internasonal lebih banyak
mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti misalnya
hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau organisasi
internasional. Sedangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan
kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi
internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau
transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan
privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi
perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur
subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimana
pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam
wilayah suatu negara.[53]
Dalam masyarakat internasional tampak
adanya keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum
internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum
internasional publik ini tidak langsung. Namun demikian pengaruh ini dapat
berdampak cukup luas terhadap beberapa aspek dari hukum perdagangan
internasional. Hal ini disebabkan karena hukum internasional publik dalam
beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan
ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi
perdagangan internasional.[54]
Perubahan orientasi pembangunan ekonomi
yang terjadi di dalam masyarakat internasional dimulai sejak berakhirnya Perang
Dunia II. Sebelumnya, masyarakat internasional umumnya masih dikendalikan oleh
dominasi sistem kolonial Eropa. Pada saat itu pembangunan ekonomi suatu bangsa
sangat ditentukan oleh dominasi kekuasaan negara kolonialnya. Setelah akhir
Perang Dunia II, muncul tuntutan keseimbangan hubungan antar negara di dunia.
Secara faktual ini mendorong terjadinya perubahan dalam tatanan ekonomi global.
Perubahan tata ekonomi global ditandai oleh terjalinnya kerjasama global,
regional, dan bilateral yang cenderung diarahkan pada kerja sama di bidang
pembangunan ekonomi bangsa-bangsa. Dalam tingkat regional, negara-negara Asia
Tenggara menyatukan visi pembangunan ekonomi ke dalam organisasi Asean Free
Trade Area (AFTA). Begitu pula pada kawasan regional Asia Pasifik, mereka
menyatukan diri dalam lembaga yang kemudian dikenal dengan Asia Pasific
Economic Cooperation (APEC).[55]
Hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas
niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Aturan-aturan
hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial misalnya,
aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT
atau regulasi yang mengatur blok-blok perdagangan regional, regulasi yang
mengatur komoditi, dsb. Sebagai contoh dalam bidang
perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam
rangka World Trade Organization (WTO)
telah mendorong negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai tindak
lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional. [56]
Disepakatinya GATT-Putaran Uruguay
menandakan munculnya era liberalisasi perdagangan dunia tanpa proteksi dan
tanpa hambatan, dan mempertinggi tingkat persaingan perdagangan antar
pelaku-pelaku ekonomi. Di samping itu, semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut wajib untuk
menyesuaikan hukum nasional mereka dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam GATT. Apabila hal ini tidak dilakukan maka WTO (World Trade Organization), selaku badan yang berfungsi untuk
menafsirkan dan menjabarkan isi perjanjian GATT serta menyelesaikan sengketa di
antara negara anggotanya, akan
memberikan sanksi yang dapat merugikan kepentingan ekonomi dan perdagangan
negara tersebut.
Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan
pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum
asing atau yang bersifat internasional yang dituangkan ke dalam
perundang-undangan nasional, misalnya di dalam hal surat-surat berharga, pasar
modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama kaidah-kaidah hukum yang
bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional,
karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam
komunikasi dan perekonomian internasional dan global.[57]
Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian
di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang
mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal
di antara negara-negara. Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya
tidak berbeda dengan tujuan GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan
tersebut adalah:[58]
a.
untuk mencapai perdagangan
internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan
praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
b.
untuk meningkatkan volume
perdagangan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan
bagi pembangunan ekonomi semua negara;
c.
meningkatkan standar hidup umat
manusia; dan
d.
meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
a.
untuk mengembangkan sistem
perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan
mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi
semua negara; dan
b.
meningkatkan pemanfaatan
sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli
barang.
Ada pula yang menyatakan bahwa
aturan-aturan perdagangan internasional juga pada akhirnya akan menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain dinyatakan oleh
Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya benar. Manakala dua atau
lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka memperoleh
keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit
banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin kondusif. [59]
Dalam hubungan antara hukum internasional
dengan hukum nasional, terdapat dua teori berbeda, yaitu monisme dan dualisme. Namun demikian, apa pun teori yang
dipilih, secara umum telah diterima bahwa ketentuan hukum internasional
memiliki dampak tertentu pada hukum nasional. di mana negara diberkati dengan
hak-hak melalui perjanjian internasional, mereka juga harus mengasumsikan
kewajiban yang sesuai. Hal ini terjadi karena setiap hak yang didapat oleh
suatu negara maka hal tersebut menjadi kewajiban bagi negara lain atau
komunitas internasional tersebut. Timbal balik yang terjadi secara alami ini
merupakan komitmen yang menjadi dasar hukum internasional. dalama rangka untuk
memenuhi kewajibannya sendiri, setiap negara harus melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam saat yang bersamaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam
hubungan hukum internasional publik namun juga terjadi dalam norma
internasional di sektor ekonomi. Sebagai contoh, pasal dalam perjanjian IMF mengharuskan kontrak valuta asing yang melanggar peraturan
valuta asing setiap anggota tidak akan ditegakkan oleh setiap anggota lainnya
(article VIII 2 (b) of the Agreement of
the International Monetery Fund). Hal ini jika dibandingkan dengan hubungan
antara ketentuan hukum internasional dan hukum nasional dalam masyarakat dunia
maka tidak ada bedanya dengan contoh diatas.[60]
Sebagaimana ditunjukkan oleh WTO, penetrasi
norma internasional ke dalam hukum nasional memiliki karakterisitik level yang
tinggi (high-level), konkret dan
memiliki kekuatan mengikat. salah satu fitur dari WTO adalah satu upaya tunggal
dimana tidak ada reservasi yang diperbolehkan. Tidak seperti perjanjian
internasional lainnya, perjanjian WTO menyediakan standar minimum untuk
perdagangan barang dan jasa serta perlindungan hak milik intelektual.[61]
Hal-hal yang diatur WTO tidak hanya terkait
dengan persoalan perdagangan saja;
tetapi telah meluas ke berbagai sektor ekonomi dan kehidupan
manusia, seperti hak atas kekayaan intelektual (HAKI), bidang pertanian, dan
bidang investasi jasa. Dengan adanya WTO, perjanjian perdagangan multilateral (Multilateral
Trade Agreements - MTAs) mencakup perdagangan barang(Trade in Goods), perdagangan
jasa (Trade in Services/GATS), perdagangan yang terkait dengan aspaek HAKI (Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang tertuang dalam annex-1,
dari instrumen legal yang berhubungan dengan itu yang tertuang dalam annex-2
dan annex-3.[62]
Dunia hukum juga tidak terlepas dari dampak
globalisasi, aturan-aturan hukum yang ada di bentuk sedemikian rupa agar
ketentuan-ketentuan yang ada tidak berbenturan dengan tujuan dari globalisasi
tersebut. Sebagai negara yang berdaulat, Sistem hukum di Indonesia harus
memiliki proteksi-proteksi dari dampak nagatif
globalisasi. Sistem hukum ekonomi Indonesia harus berpihak kepada
ekonomi rakyat sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 dan bukan mengabdi kepada sistem ekonomi kapitalis yang mengkultuskan
pasar bebas.[63]
Dalam perkembangan Indonesia proses
nasionalisasi hukum internasional secara formal boleh dikatakan dimulai pada
masa Orde Baru, yaitu dalam rangka mengundang investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Menyusul tindakan pemerintah Orde Baru mengundang
investor asing untuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia,
mulailah secara sistematis dan berkelanjutan proses nasionalisasi kaidah hukum
internasional terjadi. Mengawali proses nasionalisasi di atas, kaidah hukum
internasional yang termasuk pertama kali menjadi kaidah hukum nasional positif
di Indonesia adalah “Convention on the Settlement of Investment Disputes.[64]
Selain itu Indonesia
jug meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam
organisasi internasional World Trade
Organization (WTO), dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala
ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala
konsekuensinya. Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan
bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan” hukum ekonomi internasional,
terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, oleh semua penegak
hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini
berarti kekeliruan dalam pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia
dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak
hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan
juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.[65]
Indonesia telah meratifikasi World Trade Organization (WTO) Agreement melalui Undang-Undang Nomor. 7
Tahun 1994. Hal Ini diikuti pula dengan pembuatan beberapa undang-undang di
bidang hak kekayaan intelektual, yang merupakan penjabaran TRIPs, dan TRIPs
adalah bagian dari WTO Agreement. Relevan dengan WTO Agreement adalah prinsip
“direct effect” seperti dipraktikkan di negara lain.[66]
Dalam melakukan reformasi hukum ekonomi di
Indonesia ada dua faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama,
reformasi hukum ekonomi wajib mengacu pada hasil-hasil GATT yang telah
disepakati Indonesia[67],
jika hal ini tidak dilakukan, maka pelaku-pelaku ekonomi Indonesia akan
mengalami kesulitan bila melakukan transaksi di dunia bisnis internasional;
kedua, reformasi hukum ekonomi harus memberi perhatian pada persoalan ekonomi
kerakyatan atau keadilan ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD
1945.[68]
Sebagai anggota WTO, Indonesia mendukung
kebijakan perdagangan global yang bebas dan adil, dimana tujuan jangka panjang
dari WTO adalah meliberalkan perdagangan dunia melalui 3 pilarnya, yaitu
perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan domestik (domestik
support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan subsidi ekspor (export
subsidy). Namun faktanya perdagangan internasional dan hasil perundingan
contohnya di bidang pertanian di WTO lebih banyak merugikan negara-negara
sedang berkembang.[69]
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan untuk menciptakan sistem perdagangan sektor pertanian yang
adil dan berorientasi pasar tersebut antara lain:
1.
Negara-negara maju masih tetap
mempertahankan, bahkan meningkatkan dukungan domestik melalui subsidi kepada
petaninya, terutama produsen pangan dan peternakan. Subsidi yang besar dari
negara-negara maju tersebut mengakibatkan persaingan tidak adil di pasar dunia.
2.
Selain subsidi domestik,
negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor yang besar untuk
produk-produk pertaniannya. Kelompok negara Uni Eropa memberikan tingkat subsidi
tertinggi, yaitu mencapai 23,2 milyar USD atau 90 persen dari total nilai
subsidi seluruh anggota WTO pada kurun waktu 1995-1998 , subsidi ekspor itu
menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negaranegara
maju, sehingga dapat dipandang sebagai instrumen untuk fasilitasi praktik dumping
yang dilarang WTO.
3.
Ketidakseimbangan tingkat
pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM, dan infrastruktur antara
negara maju dan negara berkembang menyebabkan
ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field. Di negara-negara berkembang pada
umumnya, dan Indonesia pada khususnya,karakteristik usaha pertanian umumnya
masih bersifat subsistem, belum berorientasi komersial secara penuh. Artinya,
pertanian masih menjadi perikehidupan dan kebudayaan masyarakatnya. Kondisi
yang demikian kurang selaras dengan aturan dalam Agreement of Agriculture (AoA)
dan mekanisme pasar yang hanya sesuai bagi industri pertanian moderen yang
berorientasi pasar di negara-negara maju.
4.
Ketidakadilan dalam membuka akses
pasar, dimana di satu sisi negara maju memaksa negara berkembang membuka akses
pasar seluas-luasnya, sementara di sisi lain berusaha membatasi akses pasar
bagi produk-produk negara berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif
eskalasi, perlindungan sanitary dan phyto-sanitary, dan non-trade
barrier lainnya.
Namun Keuntungan dalam sistem perdagangan
WTO yang juga dapat dirasakan oleh Indonesia antara lain dapat dikelompokkan dalam beberapa hal
penting, yaitu :
1.
Peraturan-peraturan yang sesuai
dengan sistem multilateral akan memudahkan perdagangan antar negara.
2.
Sistem perdagangan multilateral
mendorong pengurangan tarif dan hambatan non-tarif, sehingga biaya hidup
menjadi lebih murah.
3.
Sistem perdagangan multilateral
memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada konsumen
4.
Sistem perdagangan multilateral
mendorong pertumbuhan ekonomi.
5.
Prinsip-prinsip dasar sistem
perdagangan WTO yang nondiskriminasi, bila secara konsisten diterapkan akan
mendorong perdagangan berjalan lebih efisien.
6.
Persengketaan antarnegara dapat
ditangani secara konstruktif
7.
Pemerintah negara- negara anggota
akan terlindungi dari praktik – praktik persaingan dagang antar negara yang
tidak sehat.
Meskipun ada kelemahan dalam WTO namun
manfaat yang dirasakan juga cukup besar, dimana Hukum ekonomi internasional ini
berfungsi untuk memfasilitasi perdagangan antara negara, menghindari konflik,
dan memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia dalam lingkup bisnis.
Contoh lain dari pemberlakuan hukum ekonomi
internasional adalah dengan diberlakukannya China Asean Free Trade Agreement
(C-AFTA) per 1 Januari 2010. Eksistensi lembaga-lembaga pedagangan tersebut,
secara faktual ini akan berimplikasi pada negara-negara anggota (contracting
parties). Sebulan setelah pemberlakuan C-AFTA pada tanggal 1 Januari 2010,
mendapatkan penolakan dari banyak kalangan, terutama dari pelaku-pelaku usaha
yang belum siap bersaing dengan produk-produk dari luar. Mereka meminta
pemerintah melakukan proteksi-proteksi terhadap produk pelaku usaha kecil mulai
dari pemberian subsidi sampai kepada penundaan pelaksanaan C-AFTA tersebut.
Sebenarnya, dasar pemikiran C-AFTA telah mulai
diperbincangkan sejak 10 tahun silam. Ditandai dengan penandatanganan
ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation oleh para kepala negara anggota
ASEAN dan Chin pada 6 November 2001. Komitmen kerangka perjanjian ini terus
dimatangkan dalam beberapa penandatanganan perjanjian pada tahun-tahun
berikutnya. Indonesia pun telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement
ASEAN-China FTA melalui keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 pada 15 Juni
2004. Persetujuan jasa C-AFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di
Filipina pada 2007. Sedangkan persetujuan investasi ASEAN China ditandatangani
di Thailand pada 2009. [70]
Dalam perjanjian itu pula menyepakati pelaksanaan
liberalisasi penuh pada tahun 2010 terhadap enam negara ASEAN termasuk
Indonesia dengan China. Menyusul di 2015, juga akan berlaku bagi negara ASEAN
lainnya yakni Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Seiring proses pematangan
konsep perdagangan bebas itu, beberapa Keputusan Menteri Keuangan terbit untuk
menyinergikan kebijakan nasional dengan perjanjian C-AFTA. Salah satunya adalah
tentang penetapan tarif bea masuk atas impor barang. Masalah tarif bea masuk
menjadi salah satu isu penting dalam kesepakatan ini. Sebab, tujuan C-AFTA
adalah untuk memperkecil bahkan menghilangkan hambatan perdagangan untuk
meningkatkan perdagangan. Kemudian, diharapkan mampu meningkatkan efisiensi
dalam produksi dan konsumsi negara-negara anggota. [71]
Dengan diberlakukannya C-AFTA banyak
memberi dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dunia yang tanpa batas,
keluar masuk barang yang intens serta interaksi dengan dunia luar disatu sisi
memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakat. Namun disisi yang lain,
pemberlakuan C-AFTA ini semakin menambah penderitaan sebagian besar masyarakat Indonesia yang
masih berada dibawah garis kemiskinan. Mereka digiring kepada sebuah dunia
dimana kekuatan pasar menjadi panglima, hilangnya subsidi dan peranan dari
negara dalam bidang ekonomi sehingga multi player effect dari kemiskinan
menjadi meningkat seperti tingginya angka
kriminal.
Skenario liberalisasi melalui perjanjian
perdagangan bebas memberikan dampak keseluruh pelosok negeri. Hal ini
disebabkan karena barang-barang impor dari China dan negara-negara ASEAN
lainnya akan menyerbu sampai ke desa-desa. Sedangkan upaya-upaya protektif
terhadap produk-produk lokal berupa pemberian subsidi merupakan hal yang
dilarang didalam perjanjian C-AFTA tersebut. Akibatnya akan banyak
pengusaha-pengusaha kecil diseantero negeri ini akan gulung tikar, karena
digilas oleh produk-produk dari negara lain yang murah meriah dan berteknologi
tingggi.
Pada awalnya, kesepakatan C-AFTA memunculkan niat
untuk bisa menciptakan kemakmuran serta menjembatani kesenjangan pembangunan
ekonomi di antara negara-negara anggota. Caranya, dengan peningkatan kerjasama
ekonomi seperti perdagangan dan investasi. Tetapi masalahnya tidak sesederhana
itu. Pasti akan ada yang kalah dan menang, walaupun mungkin saja hanya
sementara waktu. Dengan gap yang menganga lebar antara perekonomian China
dengan negara anggota ASEAN, tentu saja pasti pihak yang lebih lemah yang
dirugikan. Peluang memperluas pasar dan meningkatkan ekspor ke China, tetap
terbuka, namun tak seimbang dengan kecepatan arus impor produk-produk China.
Apalagi, ketergantungan Indonesia terhadap impor produk bahan baku industri
dari China tidak kecil. [72]
Sejumlah praktisi di industri dan kalangan
asosiasi pun mulai merapatkan barisan. Mereka sepakat menolak penandatanganan
perjanjian tersebut, Soalnya bila sampai ditandatangani maka akan mengancam
kestabilan industri nasional. Jangan
sampai pemerintah menandatangani perjanjian tersebut. Soalnya produk nasional
bisa kalah bersaing dengan produk impor dari China . Apalagi bila pemerintah sampai
membebaskan pajak impor hingga nol persen. Tentu saja bila pemerintah tetap bersikeras
menanadatangani perjanjian tersebut, maka bisa dipastikan akan terjadi defisit
perdagangan. Ini akan menimpa 10 sektor industri yang akan kembali ke titik
nadir. Industri manufaktur nasional masih butuh perlindungan bukan malah
dibiarkan mau menghadapi China .
Jika dibiarkan, ancaman PHK dan deindustrialisasi akan menjadi kenyataan.[73]
Ternyata terbukti, dampak pelaksanaan C-AFTA yang
sudah berjalan lebih dari setahun ini sangat besar buat industri lokal.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menghitung, nilai impor produk industri China
di 2010 naik 45% menjadi US$ 20,42 miliar dibanding 2009. Sementara itu,
peningkatan nilai ekspor produk industri Indonesia ke China di 2010 hanya naik
34% dibanding 2009 yang hanya sebesar US$ 15,69 miliar. Itu berarti,
perdagangan Indonesia-China pada tahun lalu mengalami defisit hampir US$ 5
miliar.[74]
Produk impor dari China yang mendominasi pasar di
dalam negeri adalah mainan anak dengan menguasai 73% dari total impor negara
pengekspor lainnya. Posisi kedua ditempati produk mebel China dengan menguasai
54%. Lantas produk elektronika menguasai 36%, tekstil dan produk tekstil (TPT)
sebesar 33% dan permesinan sebesar 22%. Beberapa sektor industri seperti mebel,
logam dan barang logam, mainan anak serta TPT cenderung mengalami peningkatan
impor setiap bulannya sepanjang 2010. [75]
Fakta penting lainnya, dari Survei Kementerian
Perindustrian pada Maret 2011 terbukti bahwa industri elektronika dan TPT
khususnya garmen, memiliki korelasi kuat terhadap dampak yang ditimbulkan dari
perjanjian C-AFTA ini. Kedua industri ini terbukti kuat mengalami peningkatan
impor bahan baku, penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan
dan pengurangan tenaga kerja. "Setelah pelaksanaan C-AFTA, rata-rata
industri telah memangkas produksi sekitar 25%-50% sehingga penjualan pun
melorot sekitar 25%. Sehingga banyak produsen yang beralih menjadi penjual,
seperti pengusaha di sektor permesinan," seperti yang dipaparkan oleh Menteri
Perindustrian MS Hidayat. [76]
Hal di atas selaras dengan pendapat Hikmahanto yang
menyatakan bahwa keberadaan AFTA merugikan Indonesia. Lonjakan nilai impor
Indonesia dari Malaysia disinyalir merupakan dampak negatif dari ASEAN Free
Trade Area (AFTA). Keberadaan AFTA yang seharusnya bisa meningkatkan
perdagangan antara negara-negara ASEAN, malah merugikan Indonesia. Dampak
negatif dari AFTA yaitu AFTA telah dimanfaatkan oleh produsen asing di luar
ASEAN daripada produsen yang berasal dari negara-negara ASEAN. keberadaan AFTA selalu diintensifkan oleh negara-negara ASEAN agar
terjadi peningkatan perdagangan antar negara ASEAN (intra ASEAN trade).
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, justru perusahaan asal negara non-ASEAN
yang memanfaatkan fasilitas AFTA, termasuk produsen mobil. Hikmahanto menilai,
perusahaan yang berasal dari negara di luar ASEAN justru berusaha mengambil
keuntungan dari bea masuk ke Indonesia yang murah. Hal ini lebih menguntungkan
jika dibandingkan membuka pabrik di Indonesia yang penuh masalah, seperti
ketidakpastian hukum, demo buruh, berbagai pungutan baik yang resmi maupun
liar. [77]
C.
Implikasi Pemberlakuan Hukum Internasional
ke dalam Hukum Nasional
Berdasarkan implementasi di atas maka di
tariklah suatu alur kerangka dari implikasi pemberlakuan hukum internasional ke
dalam hukum nasional khususnya di Indonesia. Di sini akan dibagi ke dalam dua
kelompok implikasi yaitu dari segi positif yang ditimbulkan oleh pemberlakuan
hukum internasional dan dari segi negatif dilihat dari akibat yang timbul dari
pemberlakuan hukum internasional di Indonesia.
1.
Aspek Positif
Berdasarkan contoh implementasi di tiga
bidang di atas, yaitu hukum laut, hukum lingkungan dan hukum ekonomi
internasional maka dapat diambil beberapa manfaaat positif dari pemberlakuan
perjanjian internasiona di Indonesia diantaranya adalah: Hukum internasional
dapat menjadi sarana untuk memfasilitasi kepentingan nasional, sebagai contoh
melalui perjuangan Indonesia dalam memasukkan ketentuan negara kepulauan pada
saat proses pembuatan konvensi UNCLOS 1982 bersama-sama dengan negara kepulauan
lainnya, maka akhirnya konsep negara kepulauan diterima secara sah oleh hukum
internasional. Hal ini memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia dengan
diakuinya Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang luas sehingga
menyebabkan wilayah Indonesia menjadi kesatuan antara daratan dan lautannya dan
menambah luas wilayah Indonesia secara signifikan.
Untuk hal-hal yang bersifat universal
seperti masalah lingkungan, pengaturan perbatasan wilayah laut, keselamatan
pelayaran dan lain-lain memerlukan pengaturan secara bersama antar
negara-negara di dunia. Keseragamanan dalam pengaturannya di dunia
internasional akan lebih memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan dari
perjanjian itu dan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya persengketaan
antar negara.
Dengan ikut serta dalam perjanjian
internasional yang menguntungkan kepentingan dalam negeri, maka akan menambah
perangkat hukum di dalam negeri yang akan menjamin kepastian hukum demi
terlaksananya perjanjian internasional itu di Indonesia. Perkembangan soft law seperti declaration, guidelines,
action plan dll banyak memberikan pengaruh besar bagi perkembangan hukum
nasional. Bahkan sebagian besar ketentuan mengenai pemanasan global masih
berbentuk soft law.
Di luar negeri, dengan ikut meratifikasi
perjanjian internasional terhadap konvensi-konvesi yang populer di masyarakat
internasional akan menunjukkan bahwa Indonesia turut serta dalam pergaulan
sosial masyarakat internasional serta menunjukkan politik Indonesia yang bebas
dan aktif serta mendukung perdamaian dunia. Hal ini akan berpengaruh baik dalam
pencitraan serta wibawa Indonesia di mata masyarakat Internasional.
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian internasional tersebut telah meletakan hak dan kewajiban pada
negara-negara atau badan-badan internasional untuk mengembangkan kehidupan dan
peradaban manusia agar menjadi lebih baik. Beberapa peluang telah diberikan
misalnya melalui prinsip kerjasama internasional, prinsip pertukaran informasi,
prinsip pembagian keuntungan (benefit sharing) dll. Selain itu dengan
mengimplementasikan hukum internasional yang relevan di beberapa sektor maka
dapat mendorong perkembangan ekonomi, keamanan wilayah dan perlindungan
lingkungan di Indonesia.
2.
Aspek Negatif
Hukum internasional sejak pertengahan abad
terakhir telah mengalami perkembangan di berbagai arah, sebagai reaksi dari
kompleksitas kehidupan di era modern yang bertambah banyak. Sebagaimana telah
ditekankan, hukum nasional mencerminkan kondisi dan tradisi budaya dari suatu
negara tertentu di mana ia beroperasi. Negara Indonesia berkembang dengan
memiliki nilai khusus yang berdasarkan Pancasila yang tertanam dalam nilai -
sosial, ekonomi dan politik dan budaya ini tercermin pada kerangka hukum yang
dibuat di Indonesia. Hukum internasional juga merupakan salah satu bagian dari
produk yang diberlakukan di dalam lingkungan hukum nasional Indonesia. Maka
sudah seharusnyalah hukum internasional yang diberlakukan sesuai dengan
ideologi yang berlaku di Indonesia.
Patut diingat bahwa dengan terikatnya
negara dengan suatu perjanjian internasioanal maka berakibat negara tersebut
terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang ada didalamnya serta dapat
dikenai sanksi jika melanggar ketentuan umum internasional. Sebagaimana
disebutkan oleh Malcom Shaw: “States are, of course, under a general
obligation to act in conformity with the rules of International law and will
bear responsibility for breaches of it, whether committed by the legislative,
executive or judicial organs.”[78]
Hal ini juga mengakibatkan pembatasan
terhadap kedaulatan negara mengingat jika peraturan nasional bertentangan
dengan peraturan internasional maka peraturan nasional harus dirubah agar
sejalan dengan peraturan internasional tersebut. Hal ini sudah terjadi di
Indonesia sebagaimana beberapa contoh: semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan dalam WTO maka wajib untuk
menyesuaikan hukum nasional mereka dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam WTO, demikian juga dalam hukum lingkungan alasan terakhir Indonesia
merevisi Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah agar sesuai dengan amanat hukum
internasional dalam masalah lingkungan. Sedemikian kuat kedudukan hukum
internasional jika suatu negara telah bersedia menjadi anggota perjanjian
sehingga bisa mengesampingkan hukum nasional di negaranya.
Perlu ada suatu pemahaman yang komprehensif
mengenai praktik penerapan hukum internasional melalui perjanjian internasional
di Indonesia. Dampak politik perjanjian internasional tampaknya kurang
diperhatikan pemerintah dalam meratifikasi perjanjian internasional. Salah satu
contoh krusialnya adalah ratifikasi keanggotaan Indonesia dalam Word Trade
Organization (WTO). Padahal, keterikatan Indonesia dalam keanggotaan WTO akan
menyebabkan sistem ekonomi Indonesia akan bergeser ke arah ekonomi yang
kapitalis, bukan lagi sistem ekonomi kekeluargaan. Dengan kata lain, Indonesia
sebenarnya belum siap untuk meratifikasi kesepakatan WTO ini mengingat kondisi
dan konstitusi Indonesia belum siap untuk diubah sesuai dengan isi
kesepakatakan internasional tersebut. Hal itulah yang seharusnya menjadi bahan
pemikiran dalam mengimplementasikan suatu perjanjian internasional dalam
peraturan perundang-undangan nasional, yaitu aspek kepentingan nasional.[79]
Dalam contoh lainnya, saat dilakukannya
perjanjian pinjaman dengan Bank Dunia terlihat sikap Indonesia yang lebih
mengutamakan perjanjian pinjaman dalam kedudukannya terhadap hukum nasional.
Akibatnya, ketentuan dalam perjanjian pinjaman antara Republik Indonesia dan
Bank Dunia didahulukan dari ketentuan perundang-undangan nasional Indonesia
yang bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman tersebut, maka
perjanjian pinjaman antara Republik Indonesia dan Bank Dunia ini yang
dimenangkan”.[80]
Demikian juga dalam pemberlakuan C-AFTA
terlihat bagaimana dampak dari ikut sertanya Indonesia dalam perjanjian
tersebut tidak memberikan keuntungan bagi perekonomian pengusaha-pengusaha di
Indonesia. Sehingga perlu sekali dicermati oleh Pemerintah, gagasan-gagasan
internasional yang selaras dan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa
dapat kita ikuti, namun bagi perjanjian yang tidak memberikan pengaruh yang
baik bagi perkembangan Indonesia atau yang tidak selaras dengan ideologi dan
falsafah bangasa sebaiknya ditinggalkan.
Adanya ketentuan internasional yang menyampingkan
hukum nasional dikhawatirkan akan mengubah peta perundang-undangan nasional menjadi
sangat tunduk pada kepentingan internasional. Oleh sebab itu, diperlukan
menyelaraskan segala bentuk instrumen hukum internasional, khususnya perjanjian
internasional dengan kepentingan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan
pembentukan peraturan perundang-undangan harus ditangani secara politik. Dengan
kata lain, secara politik disini diisyaratkan perlunya suatu kekuatan pada
peringkat nasional yang memiliki otoritas untuk membangun sistem hukum
Indonesia. Kenyataan dalam implementasi perjanjian internasional sebagian besar
mengabaikan peran perundang-undangan nasional. Hal ini sebagai dampak ke dalam
(internal effect) dari suatu perjanjian internasional yang sangat erat
kaitannya dengan dampak suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum internasional
suatu negara.[81]
Selain itu perlu dikaji intensitas
kepentingan negara dalam pertimbangan ratifikasi suatu perjanjian
internasional, karena tiap-tiap perjanjian akan membebankan negara kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi. Terlebih di dalam perjanjian multilateral yang biasanya
membebankan iuran bagi tiap-tiap negara pesertanya sehingga akan ada biaya
tambahan bagi anggaran negara tiap tahunnya. Jika jumlah perjanjian yang
diikuti semakin banyak maka akan berlipat juga pengeluaran yang harus dikeluarkan.
Maka harus dipertimbangkan matang-matang kesiapan Indonesia apakah telah mampu
untuk menjalankan kewajiban dalam perjanjian internasional tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa implikasi dari pemberlakuan hukum
internasional ke dalam hukum nasional Indonesia memiliki aspek positif dan
aspek negatif. Penjabaran dari aspek positif itu antara lain sebagai berikut: Pertama;
bahwa melalui hukum internasional, Indonesia dapat memperjuangkan kepentingan
nasional agar dapat diterima oleh masyarakat internasional. Kedua; keseragamanan dalam pengaturan di dunia
internasional untuk hal-hal yang universal seperti permasalahan lingkungan, pengaturan perbatasan wilayah laut, keselamatan pelayaran dan
lain-lain, akan lebih memudahkan tercapainya tujuan yang
diinginkan dari perjanjian internasional dan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya persengketaan antar negara. Ketiga; dengan meratifikasi hukum
internasional maka akan menambah khasanah peraturan perundang-undangan
Indonesia serta untuk melengkapi peraturan hukum yang berlaku dan untuk
menjamin kepastian hukum bagi permasalahann yang berkaitan
dengan lintas batas negara yang belum diatur sebelumnya dalam hukum
Indonesia. Keempat; ikut sertanya Indonesia dalam berbagai perjanjian
internasional di
luar negeri, akan menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab terhadap
masalah global dan akan meningkatkan martabat dan wibawa Indonesia di
masyarakat internasional.
Disisi lain terdapat juga aspek
negatif dari hukum internasional di Indonesia, diantaranya: Pertama; mengakibatkan pembatasan terhadap kedaulatan negara mengingat jika
peraturan nasional bertentangan dengan peraturan internasional yang telah
diratifikasi maka peraturan nasional harus dirubah agar sejalan dengan
peraturan internasional. Kedua; jika tidak dipertimbangkan secara matang maka
keikutsertaan Indonesia dalam suatu perjanjian internasional dapat merugikan
bangsa atau berdampak kepada masyarakat, seperti contoh dalam keikutsertaan
Indonesia dalam WTO, C-AFTA, AFTA hal ini menimbulkan kerugian bagi
pengusaha-pengusaha di Indonesia karena masih belum siap dengan kondisi pasar
bebas, serta bergesernya perekonomian Indonesia yang sebelumnya berlandaskan
kekeluargaan menjadi perekonomian kapitalis. Ketiga: adanya
ketentuan internasional yang menyampingkan hukum nasional dikhawatirkan akan
mengubah peta perundang-undangan nasional menjadi sangat tunduk pada
kepentingan internasional serta dapat merubah jati diri bangsa Indonesia.
B.
saran
Beberapa saran untuk
permasalahan di atas adalah: Pertama, Indonesia harus menetapkan skala
prioritas dalam menentukan keikutsertaan dalam suatu perjanjian internasional
agar tidak berdampak merugikan pada kedaulatan bangsa Indonesia, Kedua: dalam
pemberlakuan hukum internasional perlu dilakukan harmonisasi sehingga
nilai-nilai dalam hukum internasional itu sesuai dengan hukum nasional
Indonesia. Ketiga; perlu selalu meningkatkan sumber daya manusia yang berwenang
dalam urusan perjanjian internasional sehingga memiliki kemampuan yang handal
dalam menganalisis setiap perjanjian internasional apakah sesuai dan
menguntungkan bagi Indonesia, serta meningkatkan sarana dan prasarana untuk
mempermudah implementasi hukum internasional tersebut di lapangan.
[1] Sutoro Eko, Protes Sosial dan Reformasi
Politik, www.ireyogya.org/sutoro/protes_sosial_dan_reformasi_politik.pdf
diakses tgl. 1 Maret 2010
[2] Sumber dari Sekretariat Negara Republik
Indonesia, http://www.setneg.go.id/index.php?catname=PUU+Ratifikasi&catid=7&tahun=0&Itemid=42&option=com_perundangan&task=&act=, diakses tgl 8 Maret 2010
[5] Romli Atmasasmita, 2008, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses
Legislasi, diakses di www.parlemen.net/site/download.php?docid...pdf, diakses tgl 8 Maret 2010
[6] Ibid.hlm. 69.
[7]
Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 67.
[8]
Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 71
[9] Mochtar
Kusamaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Bandung: Putra
Abardin, hlm.1.
[10] Ibid, hlm.1.
[12]
Sugeng Istanto, 1998, Hukum internasional,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya , hlm.2.
[13] W.J.S.
Purwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan. 5. Jakarta:
Balai Pustaka, hlm. 955.
[14] A.S.
Hornby et al., 1973, The Advance Learner’s Dictionary of Current
English, ed. 2. London: Oxford University Press, hlm. 1024.
[15] Henry
Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, ed. 6. St. Paul:West
Publishing, hlm. 1450.
[16]
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum
Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 122.
[17]
Bachsan Mustafa, 1985, Sistem Hukum
Indonesia, Bandung: Remadja
karya, hlm. 42.
[19]
Bachsan Mustafa, Op.Cit. Hlm. 42.
[20] Guiguo Wang, International Development Law in the Globalized World, Asia Law Review Volume 4, 1 Juni 2007,
p. 41-88
[21] Ibid
[22]
Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm. 5.
[23] Mohammad Burhan Tsani, 1990; Hukum dan Hubungan
Internasional, Yogyakarta :
Liberty.,hlm.26
[24] Burhan Ashshofa, 2004;
Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta, hlm.57
[25]Maria
Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan
Penelitian, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 36
[26] Abdulkadir Muhammad,
2004, hukum dan penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 132.
[27] Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum,
Jakarta: Kencana, hal. 95
[28] Disadur
dari buku DJ Harris, 2004, Cases and Materials on
International Law, 6th
Ed., London: Sweet & Maxwell, hlm.66-69
[29]
Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm.66
[30]
Sugeng Istanto, Loc.Cit, hlm. 66.
[31]
UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal 3
[32]
UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal.4
[33]
UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal.6
[34] Sam Suhaidi dalam R. Poerwanto, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, jurnal.budiluhur.ac.id/wp-content/.../trans-v1-n2-artikel1-agust2006.pdf Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi
Internasional, diakses 15 Mei 2010
[35]
UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Pasal 10
[36] Pan Mohamad Faiz, Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Menjadi
Undang-Undang Di Indonesia, http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/01/perjanjian-internasional-2.html,
diakses 29 Mei 2010
[37]
Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan
Kesamaran Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 3
Nomor 4 Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 486
[38]
Ibid, hlm. 487
[39]
Ibid, hlm. 487
[40]
Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni:
Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusamedia & Nuansa, hlm. 358
[41] Sobar
Sutisna dan Sora Lokita, “Politik Perbatasan Indonesia di Laut China
Selatan,” paper yang disampaikan
pada Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 4 Maret 2008.
[42] Andreas Pramudianto, Kajian
Hukum Lingkungan Internasional Dan Bioteknologi Serta Peranannya Dalam
Mengatasi Perubahan Iklim Dan Ketahanan Pangan, http://wwwpram.blogspot.com/2010/07/kajian-hukum-lingkungan-internasional.html,
diakses tanggal 26 Juli 2010
[43]
Ross Garnaut dalam Wahyu Yun Santoso dan Andy Omara, Adopting Green Growth
Approach for Climate Change in Indonesia, Asia Law Quarterly, Volume 1,
No.2 October 2009, hlm. 43
[45] http://rullymesgapati.wordpress.com/2008/12/07/sekilas-tentang-perdagangan-karbon/
[47] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Studi Strategi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih di
Indonesia (Jakarta: 2001),dalam website http://www.kyomecha.org/pdf/CDM_Development_in_Indonesia_NEDO_2006-2.pdf, diakses tanggal 23
Agustus 2010
[48]
Wahyu Yun santoso dan Andy Omara, ibid.p 43
[49]
Ibid, p. 45
[50]
Wahyu Yun, hlm. 67
[51]
Esty, D.C and Porter, M., “National environment Performamce: an Empirical
Analysis of Policy Results and Determinants”, Environment and Development
Economic, 2005, Vol. 10, p.391-434 dalam makalah Michael Faure, “Effectiveness
of Environmental Law”, Diskusi Panel di Yogyakarta, 23 Maret 2010.
[53]
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi
Dasar, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF,
diakses tanggal 20 Juni 2010.
[54]
Rafiqul Islam dalam Huala Adolf, ibid
[55]
Dikutip dari www.tribun-timur.com
denga judul tulisan CAFTA dan Solusi Kontruktif yang ditulis oleh Maskum, seorang dosen
bagian hukum internasional di UNHAS, diakses pada tanggal 1 April 2010
[57] C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung: Alumni, hlm 74.
[58]
Huala Adolf. ibid
[59]
Huala Adolf, ibid
[60]
Guiguo Wang, Globalizing the Rule of Law: From Economic Globalization to Globalizing
the rule of law, Asia Law Review, Volume
5, No. 1 June 2008, hlm. 17
[61]
Ibid, hlm. 17
[62]
WTO, 2003 dalam http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_29-10-04.pdf,
diakses tanggal 24 Juli 2010
[63] Tinjauan
Sosiologis Terhadap Pemberlakuan C-Afta (China Asean Free Trade Agreement) Di Indonesia, www.idiysorhazmah.files.wordpress.com/.../tugas-s2-uir ,di akses 3 November 2011.
[64] Eman Suparman, Perjanjian
Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan Masyarakat Global, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2E%20Makalah%20Perjanjian%20Internansional.pdf, diakses tanggal 20 September 2011
[66] Achmad Zen Umar Purba, Berbagai Isu Aktual Dalam Pelaksanaan UU Perjanjian Internasional,http://treatyroom.blogspot.com/2009/07/berbagai-isu-aktual-dalam-pelaksanaan.
html diakses 27 Juli 2010
[67]
Isi
perjanjian GATT-Putaran Uruguay terbagi dalam 15 kelompok. Empat di antaranya
berupa ketentuan baru, yang meliputi: Trade
Related Investment Measures (TRIMs), Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), World Trade Organization (WTO), dan General Agreement on Trade in Service
(GATS). Lihat dalam Final Act of Uruguay
Round.
[68]
Adi Sulistiyono, Reformasi Hukum Ekonomi di Indonesia, diakses di adisulistiyono.staff.uns.ac.id/files/.../reformasi-hukum-di-idnonesia.doc
[69] Suryana, Achmad dalam Bambang Rahmanto, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_29-10-04.pdf
[70] http://lipsus.kontan.co.id/v2/C-AFTA/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya
,dalam posting: Dampak C-AFTA: Produk Cina menjadi Raja, Produk Lokal Tak
Berdaya, diakses tanggal 5 Novembe 2011.
[71]
Ibid.
[72]
Ibid.
[73] www.bataviase.co.id dalam artikel Penolakan
Terhadap AFTA Asean-Cina Terus Menguat, diakses pada 3 November 2011.
[74] http://lipsus.kontan.co.id/v2/C-AFTA/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya
,dalam posting: Dampak C-AFTA: Produk Cina menjadi Raja, Produk Lokal Tak
Berdaya, diakses tanggal 5 Novembe 2011.
[75]
Ibid.
[76] Ibid.
[77]
Hikmahanto: Keberadaan AFTA merugikan Indonesia, diakses tanggal 2 Desember
2011 sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/12/02/020534/1780677/10/hikmahanto-keberadaan-afta-merugikan-indonesia
[80] Ibid.
[81] Lilik Mulyadi,
Relevansi dan Implementasi Teori Grotius Tentang pembentukan Perjanjian
Internasional, sumber:
Hanya modal 10 ribu bisa mendapatkan JUTAAN
ReplyDeleteSilahkan kunjungi www.pokerayam.co
Minimal Deposit 10.000
Minimal Penarikan dana 25.000
Dan dapatkan Jackpot Ratusan Juta Rupiah
Bonus Cashback Turn Over 0,5% Setiap minggu
Dapat Bermain Pada ANDROID DAN IOS
Pelayanan 24 jam Tanpa Batas
Bisa juga hubungi , info :
BBM : D8E5205A